(46) Benci (BBC II) <END>

203 23 18
                                    

------
Awan hitam menggumpal menenggelamkan para bintang di atas sana. Meredupkan sinar sang rembulan yang pancarkan keanggunan malam. Aku berdiri menatap langit di depan jendela kamarku yang terang ini.

Hatiku gundah sekaligus cemas. Rasa khawatir terus mengusik pikiranku begitu racau hingga mengacaukan segalanya.

Aku berdiam diri. Masih tak berkutik di dalam sini, enggan melangkahkan kakiku pergi ke taman untuk menemui Rayhan yang kini tengah menungguku sendirian di sana.

Meski empat jam telah berlalu, entah mengapa aku merasa yakin bahwa Rayhan masih betah menungguku di luar sana.

Malam semakin pekat dengan sedikit kilat yang menyambar pertanda akan hujan. Hatiku semakin kalut saat memikirkan Rayhan. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan hal sekejam itu padanya pagi tadi.

Aku sudah menolaknya mentah-mentah. Membentaknya, menghinanya, menjelek-jelekkannya saat aku meluapkan semua kebencian yang membara dalam hatiku. Semua emosi yang terpendam selama ini telah ku luapkan habis. Aku bahkan menambah kebohonganku dengan berkata bahwa aku telah berkencan dengan lelaki lain. Aku berkata bahwa aku tengah belajar mencintai lelaki itu dengan sepenuh hatiku.

Rasanya lega untuk sesaat ketika semua unek-unek yang mengganjal dalam pikiranku selama ini telah ku keluarkan. Tapi setelah itu, semuanya berubah sakit. Dadaku terasa sesak hingga aku tak bisa bernapas menahan tangis ini.

Namun semua telah terlanjur. Aku tak bisa menarik kembali ucapanku padanya. Meski dia mengatakan dia tak percaya dengan semua ucapanku, tapi tetap saja, aku memilih tak akan kembali lagi untuk bersanding dengannya.

Lalu tibalah saat ini. Dia mengatakan akan kembali ke luar Negeri jika aku tak menemuinya untuk terakhir kalinya malam ini di taman dekat rumah. Dia mengatakan bahwa dirinya akan benar-benat tak menggangguku setelah aku mengakui bahwa ucapanku tadi pagi adalah yang sebenarnya, bukan karena emosi dan amarah.

Dia menungguku, dia memberiku waktu ketenangan agar aku memikirkan matang tentang bagaimana perasaanku yang sesungguhnya saat ini padanya. Jika sampai tengah malam aku tak kunjung menemuinya di taman, maka dia akan benar-benar pergi dari hidupku.

Ckrek

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunanku seketika.

"Papa," ucapku seraya memeluknya erat. Aku mengerjapkan mataku secepatnya agar mampu menahan tangis ini.

Ayahku saksinya. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lidah dan perkataan ini begitu kejamnya menghancurkan hati dan perasaan Rayhan.

"Sayang, kamu sungguh akan melepaskan Rayhan?"

Ayahku melepaskan pelukanku. Dia membawaku duduk pada tepi ranjang sembari menggenggam tanganku dengan kehangatannya.

Aku menggeleng lemah. "Aku nggak tahu Pa."

"Tanyakan pada hatimu anakku! Jangan membohongi dirimu sendiri!"

Aku menatap mata ayahku sendu, lalu ku senderkan kepalaku pada pundaknya.

"Veily nggak ngerti Pa. Veily takut sakit hati lagi."

Ayahku lalu menghela napas berat, kemudian tersenyum penuh arti.

"Anakku, memang seperti itulah cinta. Selalu ingin memberi kebahagiaan dengan cara apapun. Bahkan ketika kebahagiaan itu pun tanpa sadar menyakiti cinta itu sendiri. Cinta itu suka duka, tak pernah lepas dari kata luka. Tapi jika kamu mampu menjamah rasa sakit itu, kamu bisa tetap tersenyum bahagia anakku."

Air mataku menetes mendengar penjelasan ayahku yang sangat menyentuh.

"Iya Pa Veily tahu. Tapi ngelakuinnya nggak segampang itu," responsku masih pesimis.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)On viuen les histories. Descobreix ara