(11) Perubahan

156 31 25
                                    

Hujan masih saja belum reda. Aku, Rayhan dan mahasiswa lain yang berteduh disini, telah menunggu selama hampir tiga puluh menit. Namun tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.

"Kamu kenapa belum pergi, Vei. Sudah hampir telat loh," ujar Rayhan yang sedari tadi bermaksud untuk mengusirku.

Aku memang sengaja tak mau masuk ke kampus sebelum Rayhan menerima ajakanku untuk pergi bersamaku dengan payung yang ku bawa.

Baru kali ini aku melihat Rayhan merasa gugup saat berada di dekatku. Dia terlihat salah tingkah karena aku terus saja menggoda dan menjahilinya sepanjang waktu. Mungkin dia risih, tapi aku tak peduli, aku malah semakin bersemangat untuk mengganggunya.

"Kan saya nunggu Bapak. Kalau Bapak tetap menolak ajakan saya, yasudah. Saya tidak memaksa kok," balasku santai, seraya mengangkat bahu berlagak acuh.

Lamat-lamat, Rayhan pun mulai mengerti dengan sikap menjengkelkan yang ku perbuat padanya. Karena saat di rumah sakit aku mengatakan bahwa diriku akan terus mengganggunya sepanjang waktu.

Rayhan lalu mendengus kesal, "Kamu keras kepala banget sih, Vei."

"Kan saya sudah bilang sama Bapak. Kalau saya akan membuat Bapak tidak bisa melupakan saya. Jadi siap-siap saja Pak Rayhan akan melihat saya setiap hari disekeliling Bapak," kataku memperjelas, dengan meriasi senyuman jahil di bibirku yang membuat Rayhan terlihat semakin kesal.

"Hufttt. Terserah kamu deh."

Rayhan tetap tak mau mengalah dan teguh pada pendiriannya untuk tak mengiyakan ajakanku. Meski rasanya kakiku sudah pegal karena berdiri menunggunya, aku tetap bersikeras dan juga tak mau kalah darinya.

Tapi ini agak sedikit aneh, kenapa dia nggak terobos saja hujannya kalau memang tak mau berlama-lama disini denganku? Masak iya takut hujan? Takut basah kuyup gitu? Bisa kan neduh di tempat lain? Aneh. Apa dia mengkhawatirkan sesuatu? Atau memang dia nggak mau jauh-jauh dariku? Hihi. Terserahlah... Yang penting misiku bisa berhasil. Haha. Pikirku cengengesan sendiri.

"Hai, Vei," sapa seseorang mengejutkanku.

"Raka? Ngapain loh disini?" tanyaku spontan.

"Nah lo sendiri, ngapain disini?" ujarnya malah balik bertanya, membuatku gugup seketika karena takut-takut Raka tahu kalau aku tengah mengikuti Rayhan.

Bukan takut bagaimana, hanya saja aku tak ingin dia banyak bertanya dan mewawancaraiku yang aneh-aneh saat tiba dikelas nanti.

"Gu-gue nunggu ujan reda lah," jawabku asal.

"Itu payung di tangan loh buat apa?" tunjuknya dengan dagu.

Kepergok. Kini aku tengah ketahuan berbohong. Aku bisa apa?

Ah Raka, merusak suasana saja. Padahal situasi saat ini sudah tercipta sangat pas untukku berdua saja dengan Rayhan. Ya meskipun tak sepenuhnya berdua. Tapi sudah cukup untukku mengganggu dan menggodanya.

Tapi sekarang tak bisa lagi karena ada Raka disini.

Hiii sebelll. Ck.

"Haaahhh." Aku pun mendesah berat, lalu menatap Raka kesal dan berkata, "Iya gue bawa payung. Terus kenapa? Gue nggak mau masuk kelas. Males."

Mendengar perkataan jutek seperti itu dariku, Raka malah tersenyum jahil.

"Pasti malesnya karena nggak ada gue kan?" goda Raka seraya mencolek daguku genit.

"Ihh apaan sih, Ka," cercaku menepis tangannya, dengan reflek aku pun memundurkan kepalaku kebelakang.

"Masih jutek aja sih Vei sama gue? Untung cantik, lo," gumamnya kemudian. Tapi aku tak menggubrisnya.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now