(45) Benci (Benar-benar Cinta)

113 17 15
                                    

Mengucapkan sebuah keyakinan
itu mudah, sangat mudah.
Tapi melakukan seperti apa yang kita ucapkan dan yakini,
Di situlah letak kesulitannya.

Kita harus benar-benar bisa mengubah mindset kita untuk tetap bertahan pada keputusan itu.

***
Happy Reading
***

"Mas Rayhan? Kamu?"

Betapa terkejutnya diriku saat mengetahui rupa wajah lelaki bertopi hitam yang sudah lancang memelukku itu?

Dengan tampang polos tanpa dosanya itu, berani-beraninya dia tersenyum padaku setelah apa yang telah dilakukannya. Apa dia tak merasa bersalah sama sekali?

"Hai Vei. Bagaimana kabarmu?" ucapnya kemudian.

Spontan tubuhku mundur menjauhinya. Aku berbalik arah. Lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku menerobos beberapa orang di depanku untuk meminta pada sopir bus agar segera menurunkanku di sini.

"Pak, kiri."

"Nggak bisa neng, tunggu halte berikutnya, sebentar lagi."

Sopir itu menolak halus permintaanku dan aku tak bisa memaksakan aturan yang ada. Seketika emosiku kembali berkobar. Melihat wajah orang itu--Rayhan, membuatku teringat akan masa lalu yang sangat ingin ku lupakan.

"Yaudah cepetan ya Pak!" pintaku menggebu-gebu.

"Baik neng."

Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba dia kembali ke sini. Ku pikir dia sudah mati. Setelah tak memberiku kabar selama enam bulan berturut-turut, ku kira kejadian buruk telah meninmpanya. Jadi aku tak mau lagi mengharapkan lebih tentang dia.

Tapi tiba-tiba dia muncul. Seperti sekarang, tiba-tiba saja dia menarik tanganku dan berkata, "Vei, ku mohon dengarkan dulu penjelasanku. Ada hal penting yang ingin ku sampaikan padamu."

Tentu saja aku tak mau mendengarkan perintahnya. "Lepasin Mas, aku sudah tidak ada urusan lagi denganmu," ucapku penuh amarah.


Dia melepaskan genggamannya. Lalu ketika bus berhenti, aku pun segera turun meninggalkannya yang tengah mematung di tempat setelah mendengar penuturanku.

Mungkin dia shock atau terkejut. Apa dia berpikir aku masih mau menerimanya lagi setelah dia pergi meninggalkanku seperti itu?

Aku sudah lelah menunggunya selama itu, kalau mati ya mati saja. Kalau pergi ya pergi saja. Aku sudah tidak peduli. Kenapa sekarang datang lagi? Aku bahkan telah mencoba untuk melupakannya dan mengubur semua masa laluku yang pahit sedalam-dalamnya.

Dia seolah telah mempermainkanku. Ini bahkan sudah satu tahun berlalu. Bukankah jika dirinya tengah berdiri di sini artinya dia sudah sembuh dari beberapa bulan yang lalu? Mengapa dia tak memberiku kabar? Kenapa dia membuatku menunggunya lebih lama? Kenapa? Kenapa dia setega itu membuatku setengah mati mengkhawatirkannya?

Aku membencinya. Sungguh sangat membencinya. Aku tak mau lagi bertemu dengannya. Bagiku, dia sudah ku anggap mati enam bulan yang lalu.

Awalnya aku masih bersedia menunggunya seperti apa yang dia inginkan di dalam surat yang ditulisnya. Aku menimbang kembali keputusanku untuk tetap bertahan. Tapi setelah enam bulan berlalu, dia tak datang padaku. Meski aku terus menunggu dan menunggu sampai pikiran pesimis ku buang jauh-jauh dari otakku, dia tetap tak datang menemuiku.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now