(42) Kamu Telah Pergi

116 20 16
                                    

Setelah merasakan indahnya jatuh cinta,
Namamu yang ku sebut pertama kali saat ku membuka mata.
Wajahmu pula yang ingin ku temukan dalam duniaku setelah terlelap.
Tapi, kini kau tiada lagi.

***
Happy Reading
***


Kelam malam semakin pekat, udara di luar sana semakin dingin dirasakan oleh manusia yang masih berkeliaran di jalanan.

Malam bagai melambangkan keheningan, menggambarkan kesunyian yang begitu tenang. Sesunyi suasana di dalam ruangan bercat putih ini. Hening. Namun siapa yang tahu bahwa hening tak selalu menyatakan ketenangan?

Hati seseorang tengah berkecamuk pedih, otak dan pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah. Energi cemas memenuhi sanubarinya. Dia diam layaknya sengaja membisu, tapi dalam dirinya, sama sekali tak ada ketenangan di situ. Sangat berisik, sampai dia menyerah untuk menghentikan kebisingan suara hatinya sendiri yang berpadu dengan egonya.

Dia Rayhan. Raut wajahnya begitu datar namun sendu, terlihat jelas tak bersemangat. Dia terlihat sangat lelah dan lusuh, dengan bajunya yang leccek bersama noda darah yang menempel di mana-mana.

Sudah empat puluh lima menit lebih dirinya menunggu di luar ruang ICU. Resah gelisah beserta takut akan kecemasan ia rasakan begitu menyesakkan batinnya.

"Ma, kenapa dokter nggak keluar-keluar?" tanya Rayhan lemah dengan suara yang masih parau.

Suasti pun tak lalu menjawab, "Sabar sayang, pasti sebentar lagi dokter memberikan kabar baik."

Ramana dan Suasti merasa sangat prihatin dengan konsidi Rayhan. Mereka tahu benar bagaimana perasaannya saat ini. Mereka ikut merasakan kesedihan yang Rayhan rasakan.

Drap drap drap drap

Suara langkah kaki terdengar mengalun cepat tak beraturan dari ujung belokan sana menuju ke arah Rayhan. Semakin dekat dan mendekat hingga suara kaki itu lama-kelamaan memelan. Kini hanya terdengar deruan napasnya yang begitu memburu akibat tubuhnya terlalu lelah berlari.

Rayhan mendongak lalu menoleh, dia melihat sosok Dimas sudah ada di depan matanya dengan raut wajah yang tak kalah khawatir dengan dirinya.

"Nak Rayhan? Bagaimana keadaan Veily?"--Dimas mengatur napasnya berkali-kali, ia berusaha menormalkan kembali detak jantungnya yang berdetak terlalu cepat akibat shock dan kelelahan--"Dia sudah sadar?"

Rayhan tak menjawab, dia hanya menghembuskan napasnya lesuh lalu menggeleng pelan memberitahukan kabar pahit yang harus Dimas dengar.

Dia memejamkan mata pasrah mencoba menerima semua keadaan yang begitu mengejutkan dan tak terduga ini. Siapa sangka semua akan jadi seperti ini? Apa ini juga termasuk kesalahannya? Sempat terlintas di pikiran Dimas bahwa kejadian ini juga merupakan akibat dari tindakannya atas larangan beberapa hari lalu yang ia katakan pada putri tunggal kesayangannya itu untuk menjauhi Rayhan sampai dia benar-benar sembuh. Menurut Dimas, itulah yang terbaik. Dia hanya menginginkan kebahagiaan anak semata wayangnya, itu saja.

Lalu, jika ada hal tak terduga yang terjadi di luar perkiraan dan pemikiran kita, itu sudah takdir Tuhan. Tak ada yang perlu di salahkan, dipertanyakan atau pun dibernarkan.

Kebenaran hanya milik Tuhan semata. Kita manusia, hanya bertugas untuk memilih dan membuat keputusan atas pilihan yang kita anggap terbaik. Jika salah, apa boleh buat? Kita hanya bisa menjadikannya sebagai pelajaran untuk lebih baik lagi dalam bertindak mengambil keputusan yang tepat.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now