(20) Haruskah?

121 24 22
                                    

Happy Reading :)
Jangan lupa Voment ya :)
Kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk penulisan yang lebih baik :)
***

Hari telah menjelang malam, jingga senja mulai mewarnai rata langit sore begitu indahnya.

Tiada terasa satu hari akan segera berlalu, kini tiba saatnya aku harus berpisah dengan Rayhan.

Sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya, karena waktu masih menunjukkan pukul setengah enam sore. Namun wajah Rayhan terlihat sedikit pucat, siang tadi pun dia seperti tak nafsu makan karena lidahnya terasa pahit, katanya.

Jadi sekarang, aku memilih untuk pulang dan membiarkan Rayhan beristirahat setelah mengantarku sampai ke rumah. Sepertinya dia sedang kelelahan dan tak enak badan.

Apalagi aku masih memikirkan keganjalan yang terjadi saat kami berada di kereta gantung tadi siang. Benar-benar terasa aneh. Ucapannnya saja aneh, jawabannya juga aneh, alasannya pun sangat aneh. Semuanya tampak aneh. Aku tidak bisa memercayai sebagian kata-katanya yang tampak pilu itu.

Semuanya terlalu mendadak untuk bisa ku cerna dengan baik arah pembicaraannya. Aku tak mengerti, sama sekali tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia bersikap aneh.

Mungkin sejak awal akunya saja yang tak menyadari, karena sejak ia menemuiku di pantai pagi tadi, sikapnya berubah menjadi sangat manis, begitu lembut dan perhatian.

Memang sih hingga malam ini sikapnya masih baik-baik saja manisnya. Tapi entah mengapa seperti ada yang janggal dalam pikiranku. Di balik sikap manisnya, dia seperti menyimpan sesuatu yang dalam yang tak bisa ia katakan padaku, entah itu tentang Karin atau keluarganya. Atau mungkin tentang aku?

Aku tak bilang sikap manisnya itu sebuah kedok kebohongan. Karena aku tahu sorot matanya memancarkan sebuah ketulusan. Lagipula untuk apa dia berbohong?

Ah entahlah. Terlalu rumit jika aku harus menjawab sendiri teka-teki itu.  Banyak sekali dugaan yang mengawang di pikiranku. Aku tidak tahu mana yang benar. Sudah berkali-kali aku mencoba bertanya dan memancingnya berbicara, tapi apa boleh buat? Dia tak ingin kami membahas hal ini lagi.

Daripada memusingkan hal yang tak pasti, lebih baik aku memanfaatkan waktu bersamanya sebaik mungkin.

"Vei, kok bengong?" tegur Rayhan membuyarkan lamunanku.

Aku terkesiap.

"Kamu sungguh ingin pulang sekarang? Nggak mau makan malam dulu?" tanya Rayhan untuk kesekian kalinya.

Lalu dengan sepenuhnya mengembalikan kesadaran, aku pun menjawab, "Iya, Mas. Kamu tuh udah keliatan capek banget tau nggak? Kita langsung pulang aja deh, ntar kamu kenapa-napa lagi."

"Aku nggak pa-pa, Vei," katanya meyakinkan.

Namun meski begitu, tetap saja aku tak yakin. Dan Rayhan tahu itu.

Maka dari itu, tiba-tiba dia meraih kedua tanganku kemudian membawanya menyentuh kedua pipi dan dahinya memastikan agar aku percaya bahwa dirinya tak apa-apa.

"Tuh. Udah kamu cek sendiri, kan? Aku nggak lagi demam ataupun lelah. Ini hanya efek dinginnya udara, Vei. Makanya wajahku kelihatan pucat," jelasnya dengan raut wajah serius. Membuatku tak bisa mengelak lagi.

"Iya sih. Sama sekali nggak panas, malah dingin."

Aku pun memastikannya sekali lagi. Ku ulurkan satu tanganku menyentuh dahi Rayhan dan satu tangan lagi menyentuh dahiku sendiri. Dan memang, suhu tubuh kami tak jauh berbeda. Meski lebih dingin Rayhan.

"Yaudah yuk. Kita cari makan di luar!"

"Tapi, bukannya dingin juga termasuk tan-"

"Ssttt!" potongnya cepat, dia menempelkan satu jari telunjuknya pada bibirnya sendiri memperingatkanku agar aku tak protes lagi.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now