(4) Realita <II>

230 41 54
                                    

Happy Reading Guys...

Untuk beberapa detik mata kami saling bertatapan, membuat rasa gugup seketika menjalar ke seluruh tubuhku. Tanpa sadar aku telah menggigit bibir bawahku karena menahan sesak.

Gawat, jantungku berdetak kencang lagi ketika melihat matanya...

Sejenak aku terpaku, sempat berpikir apakah dia masih mengingatku?

Sesaat ketika Rayhan melemparkan senyumannya sekilas padaku, aku memberinya tatapan penuh arti. Menyiratkan harapan yang baru saja pupus, menyampaikan asa yang bahkan belum sempat terucap.

Lalu setelahnya, pandangannya teralih. Menggilir kembali absen yang masih berlanjut.

"Ya, baiklah kalau begitu kita langsung saja... blaaa blaa blaa...."

Kelas pun berakhir. Rayhan bergegas meninggalkan kelas yang kemudian ku susul keluar untuk mengikutinya.

"Haduh, ini anak. Mau ngapain lagi sih dia ngejar Pak Ray??" gerutu Selly, saat melihat kepergianku menyusul Rayhan. Aku jelas-jelas mendengarnya mendengus kasar. Namun aku tak peduli.

"Pak Rayhan," panggilku sedikit terengah-engah. Langkahnya yang lebar dan cepat membuatku sedikit berlari mengejarnya.

Rayhan pun menghentikan langkahnya setelah mendengar namanya terpanggil, namun dia tetap tak membalikkan badan. Terpaksa, aku yang mendekat menghampirinya.

"Maaf, Pak. Saya mengganggu," kataku memulai percakapan.

Rayhan akhirnya menoleh ke arahku lalu tersenyum. "Ya? Ada apa, Veily?"

Dia mengingat namaku dan menyebutnya dengan jelas. Aku sangat senang. Semoga saja ini pertanda baik.

"Emm... Saya ingin memastikan sesuatu Pak." Ada jeda di sela ucapanku, menghela napas dan mengatur kadar kegugupanku sebelum kembali berucap.

"Apa sebelumnya saya pernah melihat Bapak? Di suatu tempat, mungkin? Atau Bapak pernah melihat saya??" tanyaku satu-persatu. Mencoba menekankan setiap kalimat tanya yang ku lontarkan secara ragu-ragu.

Perasaanku begitu meluap tak terbendung. Ingin rasanya aku mengatakan hal yang sebenarnya menjadi unek-unekku selama ini kepada Rayhan secepatnya. Tapi aku harus bersabar menahannya.

"Emmmm...." pikirnya sembari memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, dia meletakkan satu tangannya di bawah dagunya seolah-olah dia sedang menyelidikiku.

"Tidak."

Jlebbbb
Lalu menjawab kata tersebut dengan tatapan tak berdosa. Lagi-lagi ribuan anak panah menghujat jantungku seketika.

"Sepertinya saya baru melihatmu tadi di kelas," ulasnya memberi kepastian.

"Ahhh, dan itu teman sebangkumu, namamu Selly, kan?" lanjutnya lalu menggerakkan bola matanya ke arah Selly yang entah sejak kapan dia sudah berdiri disampingku.

Aku baru menyadari kehadirannya setelah Rayhan menyebut namanya. Aku sedikit terkejut dibuatnya.

"Ngapain kesini sih, Sell?" tanyaku setengah berbisik kepada Selly.

"Kamu yang ngapain? Pake nyusulin pak Rayhan segala lagi," cicitnya membalikkan tanya dengan nada kesal.

"Permisi? Apa kalian sudah selesai? Ada perlu apa ya dengan saya?" sahut Rayhan menyela, setengah bertanya sekaligus menyindir kami yang sedang berbisik didepannya.

"Iya, Pak. Kami sudah selesai. Nggak ada perlu apa-apa kok Pak. Maaf sudah mengganggu waktu anda. Kami permisi," sergah Selly dengan cepat.

Dia menarik tanganku kasar, menyeretku segera menjauh dari hadapan Rayhan.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang