(41) Accident

107 18 20
                                    

Sebuah luka yang berujung duka, mengapa Tuhan tak mengindahkan kisah cintaku dengan Rayhan? Itulah yang ku pikirkan saat ini.

Suara deru kendaraan di luar sana mulai tak terdengar lagi di telingaku, mataku mengabut buram. Aku linglung, semua yang coba ku lihat berputar mengelilingi kepalaku. Rasanya sakit, lemas tak berdaya.

Samar-samar sosok bayangan Rayhan masih bisa ku rasakan kehadirannya. Meski kemudian aku tak sadarkan diri karena terlalu lelah bertahan, aku tetap berusaha agar tak tertidur sepenuhnya.

#flashback.on

"Halo Mas Rama? Mas, ini Veily. Tolong beritahu Mas Rayhan kalau aku sudah ada di perjalanan menuju bandara. Ku mohon suruh dia menungguku sebentar lagi."

Ponsel Rayhan masih tidak aktif, terpaksa aku harus menghubungi Ramana yang mungkin saja ada di bandara mengantar kepergian Rayhan.

Atau mungkin bisa jadi dia dan istrinya juga ikut pindah ke luar Negeri kan? Saat itu aku hanya bisa mengira-ngira saja. Aku masih belum tahu pastinya bagaimana kronologi kepergian Rayhan yang begitu mendadak. Bukan, ralat. Dia mungkin sudah merencanakan kepergiannya dengan sebaik mungkin tanpa sepengetahuanku.

"Owh, oke-oke. Mas Rama akan bilang ke Rayhan."

Ramana sedikit tergagap, dia terkejut saat menerima panggilan telepon dariku yang begitu tiba-tiba.

"Makasih Mas, please bilangin ke Mas Rayhan, kalau sampai dia pergi sebelum berpamitan denganku secara benar, jangan harap dia bisa melihat wajahku lagi di dunia ini."

klikk

Aku memutuskan sambungan, mengakhirinya dengan ancaman tegas.

"Ap-apa maksud kamu?"

"..."

Cukup sampai di situ aku mendengar panggilannya. Setelahnya, aku biarkan menggantung.

Mungkin saat mendengar sambungan terputus, Ramana memekik panik. Raut wajahnya pasti menegang setelah mendengar ucapanku di telepon.

Tapi entahlah, ku harap dia mengerti apa maksudku tadi.

Aku sudah bertekad, kali ini aku akan bersikap tegas pada Rayhan. Dia tidak akan bisa menghindariku lagi.

Lalu tak lama beberapa menit kemudian ponselku berdering. Akhirnya nama seseorang yang ku tunggu-tunggu sedari tadi muncul juga pada layar ponselku.

Itu artinya, Ramana berhasil menghubungi Rayhan dan memberi tahunya akan keberadaanku.

"Halo Veily? Kamu di mana sekarang?" tanya Rayhan terdengar cemas.

"Aku di jalan Mas, sepuluh menit lagi mungkin sampai bandara," jawabku dengan nada santai.

"Kamu ngapain sih pakai nyusulin aku kesini? Lima menit lagi pesawat berangkat, jadi percuma kamu datang," katanya semakin panik.

Jika ku dengar dari nada bicaranya yang gelagapan, sudah bisa ku pastikan bahwa itu adalah kode bahwa dirinya tengah berbohong demi mencegah kedatanganku.

"Yasudah pergi aja kalau memang kamu nggak mau lihat mukaku lagi di dunia ini."

"Vei, nggak usah nekad. Aku nggak ngerti apa maksud kamu. Tapi ingat, masih ada papamu yang harus kamu jaga."

"Aku nggak peduli. Kalau kamu tetap pergi, kamu akan menjadi musuh abadiku," putusku tetap mengancam.

Dengan nada datar tanpa ekspresi, aku menegaskan bahwa aku tak sedang bermain-main dengan ucapanku.

Tapi setelah beberapa detik terdiam, aku mendengarnya tengah menarik napasnya dalam-dalam. Mungkin ia menenangkan diri.

Lalu setelahnya, bukannya mendengar dia akan mencegatku melakukan hal bodoh dan kembali padaku atau apa, dia malah menegaskan, "Membuatmu membenciku, itu juga salah satu alasanku meninggalkanmu. Jadi, aku akan tetap pergi. Selamat tinggal Vei."

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now