(45) Benci (Benar-benar Cinta)

Magsimula sa umpisa
                                    

Bahkan mengabariku lewat telepon saja tidak. Jangankan telepon, sepucuk surat atau setidaknya pemberitahuan melalui Ramana yang masih bisa pulang ke Indonesia saja tidak.

Rayhan dan keluarganya seolah telah berpindah planet lalu tersesat di angkasa raya sana. Jejaknya menghilang membuatku terus mencarinya hingga kelelahan. Kini, aku tak mau bertindak bodoh seperti itu lagi. Aku sudah muak. Rasa benciku padanya sudah melampaui rasa cintaku terhadapnya.

"Vei tunggu Vei!" Rayhan dengan cepat menyusulku turun.

Meski aku berlari secepat kilat dia tetap bisa mengejarku dengan langkah lebarnya itu. Dia lalu menghadang dan mencegatku.

"Please! Beri aku waktu lima meniiitt saja untuk menjelaskan!" pintanya dengan wajah memelas. Manik matanya seolah memancarkan cahaya yang berkaca-kaca.

"Setelah itu aku akan pergi. Ku mohon! Dengarkan aku kali ini saja!" lanjutnya memohon dengan tatapan sendu, membuatku tak tega lantas terpaksa mengabulkan permintaannya itu.

"Hanya lima menit," ucapku ketus sembari memalingkan wajah.

Tapi tetap, meski model penjelasan yang ia berikan cukup memberiku alasan untuk memaafkannya, aku tidak akan terpengaruh untuk kembali lagi padanya.

Lalu setelah mendengar keputusanku, Rayhan pun tersenyum senang. "Terima kasih."

***

Kini kami duduk berdua di kursi taman dekat daerah rumahku dengan jarak cukup berjauhan. Aku duduk di pojok kiri kursi dan Rayhan di pojok kanan kursi. Dia pun tak berani mendekat setelah aku membatasi jaraknya. Kami berdua menjadi kikuk dan terdiam cukup lama dalam pikiran masing-masing.

"Cepat katakan! Aku tidak punya waktu lagi," Aku pun mengingatkan Rayhan yang tengah gusar memikirkan hal yang akan di ucapkannya.

"Emm. Baiklah. Tapi aku tidak tau harus memulainya dari mana," jawab Rayhan seadanya.

"Ku mulai waktunya dari sekarang!" Aku menekankan.

"Aku mencintaimu. Aku sangat merindukanmu. Dan aku sudah sembuh. Aku ingin kamu menikah denganku!" ucap Rayhan gelagapan. Seolah aku benar-benar memasang bom waktu, dia mengucapkannya spontan dan cepat.

Aku cukup terkejut mendengar ungkapannya. Dari balik wajahku yang ku palingkan dari arah Rayhan, tanpa sadar pipiku mengeluarkan semburat merah jambu. Jantungku berdetak tak karuan saat ini. Namun tak ingin dia menyadarinya, cepat-cepat ku tenangkan diriku agar tampak bersikap biasa saja di hadapannya.

"Ngo-ngomong apa sih? Nggak nyambung tau nggak? Itu penjelasan yang ingin kamu katakan?" kataku tajam.

"Ah, ma-maaf. Bukan itu maksudku," ralatnya sembari merutuki dirinya-sendiri karena telah salah bicara.

Rayhan terlihat tengah menelan ludahnya kasar. Ekor mataku menangkap, kalau ia tengah menarik napasnya panjang-panjang. Mungkin dia gugup dan takut? Apa dia takut penjelasannya akan ku tolak mentah-mentah adanya?

"Aku telat kembali karena aku tengah melakukan tahap pemulihan dan penyesuaian setelah operasi cangkok hati yang ku terima. Karena sempat ada penolakan yang terjadi pada organ tubuhku yang lain.

"Aku tak memberimu kabar karena aku takut dengan penjelasan Dokter yang mengatakan bahwa penolakan kecocokan hati si pendonor dalam tubuhku akan membahayakan diriku lagi."

Rayhan lalu mengambil napas sejenak sebelum mengakhiri ucapannya, "Maafkan aku Vei karena telah bersikap egois dan meninggalkanmu tanpa kabar."

Wajahnya tampak tertunduk menyesal. Dia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan fatal yang mungkin tak termaafkan.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon