(42) Kamu Telah Pergi

Start from the beginning
                                    

"Maafkan saya Om, saya yang sudah menyebabkan Veily jadi seperti ini." Suara Rayhan kembali memecah keheningan sesaat. Wajahnya tertunduk pilu, lagi-lagi matanya berkaca-kaca jika mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

Dimas mendekat lalu mengusap puncak kepala Rayhan. "Tidak, Om juga harus meminta maaf padamu. Semua sudah terjadi, kita berdoa saja semoga Tuhan mau memaafkan kita dengan memberi keselamatan untuk Veily."

Melihat penuturan Dimas yang bijaksana dalam menanggapi suatu masalah, hati Suasti jadi terenyuh. Dia terharu. "Terima kasih atas pengertian Bapak. Kami di sini juga tengah mendoakan yang terbaik untuk keselamatan Veily. Maafkan anak saya jika dia banyak menyusahkan anak Bapak."

"Sama sekali tidak bu," jawab Dimas seadanya.

Klik

Bunyi kenop pintu ruang ICU telah terbuka, spontan semua orang menolehkan kepalanya menghadap pintu yang menjadi sumber utama. Rayhan bangkit dari duduknya lalu bergerak menemui Dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU. Begitu pula yang lainnya menyusul.

"Bagaimana keadaan Veily, Dok?"
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Rayhan dan Dimas bersamaan.

Dokter itu membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya lalu menghembuskan napasnya panjang.

Melihat gelagatnya yang seperti itu semakin menambah kecemasan pada guratan raut wajah Rayhan dan Dimas. Mereka takut hal yang akan di katakan Dokter tak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

"Gimana, Dok?" tanya Dimas sekali lagi. Dia ingin memastikan bagaimana keadaanku sesegera mungkin.

"Keadaannya memang cukup parah saat dibawa ke rumah sakit, tapi untungnya dia segera dilarikan ke sini sebelum terlambat."

"Jadi?" Rayhan tak sabaran. Dokter itu seolah sengaja mengulur waktu untuk memperlambat jawabannya. Jantung Rayhan sudah berdetak tak karuan, rasa takut akan kehilangan gadisnya kembali muncul, membuatnya ingin cepat-cepat mengetahui apa maksud Dokter itu.

"Jadi, dia bisa diselamatkan." Dokter itu akhirnya menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum.

Ya Tuhan... Sungguh melegakan.

"Alhamdulillah," sahut mereka berjamaah.

Seolah mendapatkan pasokan oksigen yang berlebih, hati mereka melega seketika. Sangat lega sampai akhirnya ketegangan mendadak telah hilang terbawa angin.

"Masa kritisnya sudah lewat, tapi kita tidak bisa memastikan kapan dia akan sadar. Tubuhnya masih perlu memulihkan diri," ucap Dokter itu kemudian, membuat ekspresi Rayhan kembali mengerut sejenak.

"Tapi nggak bahaya kan Dok? Dia akan sembuh total kan? Tidak ada kelainan lain kan? Dia pasti akan baik-baik saja kan Dokter?" tanyanya bertubi-tubi. Rasa khawatir dalam diri Rayhan masih belum terbuang sepenuhnya.

"Tenang saja, mungkin paling lambat sekitar dua hari. Tapi kalau kondisinya cepat membaik, besok dia pasti sudah bisa melihat indahnya dunia lagi." Dokter itu menepuk pundak Rayhan yang masih terlihat gusar. Dia mengulaskan senyum menenangkan agar kegelisahan Rayhan berkurang.

"Kalau begitu saya permisi dulu," lanjutnya undur diri.

"Baik. Terima kasih Dokter," jawab Dimas menanggapinya.

Tak mau menunggu lebih lama lagi, Rayhan pun segera masuk ke dalam ruangan tempat Veily terbaring lemah. Dia bahkan mendahului Dimas dan menduduki kursi yang seharusnya Dimas tempati.

"Veily, sayang...." Dia menatap gadis itu sendu lalu mengambil tangannya kemudian mengecupnya.

"Maafin aku... Maafin aku...."

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Where stories live. Discover now