40. Meet | Akhir Kata

Mulai dari awal
                                    

Rena melirik sekilas wajah cowok itu. Otaknya menolak keras untuk tidak mendengarkan apa-apa lagi dari cowok itu, tapi hatinya berkata lain.

"Mama gue meninggal, Na."

Rena terkesiap. Beberapa detik kemudian ia memberanikan diri untuk menatap cowok itu seutuhnya. Perasaan iba itu muncul langsung pada diri Rena.

Cowok itu yang semula menunduk, kini mendongak menatap wajah Rena yang memandangnya dengan sorot iba dan juga masih ada sorot kecewa di kedua bola mata itu.

"Malam setelah gue anter lo balik, gue dapat SMS dari bokap. Bokap bilang kalau mama masuk rumah sakit. Dan penyakit yang mama derita nggak main-main. Disitu gue merasa menyesal banget karena gue gak tahu apa-apa soal penyakit mama. Dan pilihan gue satu-satunya adalah nyusul mereka ke Jerman. Gue nggak tahu Na, nyampe di sana, mama udah nggak ada..."

Rena dapat melihat gelombang cairan tipis yang memenuhi kedua mata cowok itu. Rena memang tidak bisa merasakan apa yang cowok itu rasakan saat ia kehilangan mamanya, tapi Rena bisa menyadari kesedihan yang mendalam dari cowok itu. Untuk itu, Rena menumpukkan tangannya pada punggung tangan cowok itu yang berada di atas meja. Sesaat, melupakan sejenak perasaan kecewanya terhadap cowok itu.

"Ga..."

Raga tersenyum tipis, membalas genggaman tangan Rena tidak kalah erat. Sentuhan itu membuatnya semakin dilanda rasa kerinduan.

"Tapi gue minta maaf sama lo karena udah ngilang gitu aja. Setelah pemakaman mama, gue balik ke Jakarta buat nemuin lo. Tapi yang gue dapet, lo udah ke New York. So, nggak ada alasan lagi buat gue di Jakarta."

Wajah Rena tampak pias. Memang, sejak beberapa hari Raga meninggalkannya tanpa alasan, Rena yang ditawarkan untuk berkuliah di New York langsung langsung menyetujui hal itu. Bersamaan dengan dinas kedua orang tuanya. Padahal, sebelumnya, ia dan Raga sudah bersepakat untuk kuliah di universitas yang sama.

"Terus, lo ngapain di sini?" Walau rasa iba itu masih melingkupi, tapi Rena tidak bisa mengerem nada suaranya yang terdengar ketus.

Raga tersenyum kecil. "Gue dapat undangan dari temen lo. Jadi, lo kapan nyusul Mala?" Terselip nada miris yang Raga ucapkan pada Rena.

Yang cowok itu tidak tahu, Rena masih sangat menunggunya, hingga sekarang.

Rena mengembuskan napas panjang, lalu mengukir senyumnya. "Lo siapnya kapan?"

Mendengar ucapan Rena, sontak membuat senyum Raga menjadi lebar. Ia tidak tahu kedepannya, tapi semoga saja, hubungan mereka berdua kembali membaik dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

♣️♣️♣️

Rena mengambil sebuah buket bunga yang terletak di depan pintu rumahnya. Buket bunga mawar putih yang ia sukai. Terselip sebuah kartu ucapan di dalam buket tersebut.

Dear Carrissa,
Aku tahu, pengecut sepertiku tidak akan pernah menunjukkan jati dirinya di hadapanmu.
Tapi, yang harus kamu tahu, sejak dulu, hingga saat ini, rasa yang aku punya untukmu tidak akan pernah hilang dimakan waktu.
I love you, and always.

- A, Si Laki-laki pengecut.

Rena tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangannya, tapi tidak menemukan jejak siapapun. Dalam diamnya, Rena berpikir, siapa sih A sebenarnya ini?

A? Alvero?

Terlalu banyak kemungkinan saat nama itu memenuhi benaknya.

Dengan segera, Rena merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan segera mendial nomor dengan ID caller Raga di layar ponselnya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Raga menjawab panggilan Rena. "Kenapa, Na?"

"Lo tahu bunga kesukaan gue?"

"Kenapa nanya gitu? Emang lo suka bunga? Gue kira nggak."

Rena semakin bingung. Dahinya mengerut dalam, apa yang Raga ucapkan tidak menjawab segala pertanyaan dalam benaknya. Kalau begitu, pengirim bunga ini bukanlah Raga.

"Gue suka kok, cuma nanya aja. Udah ya, dah!" Kemudian Rena langsung menutup panggilan telepon tersebut.

Selama lima tahun lebih, ia dibuat penasaran dengan siapa seseorang berinisial A tersebut. Bukan Adnan, dan tentunya bukan Raga. Lalu siapa?

Sedangkan disatu sisi, seseorang tersenyum tipis di balik kursi kemudinya.

"Biarkan gue terus seperti ini, Na. Yang akan selalu menjadi pengagum rahasia lo," gumamnya, sebelum kembali mengemudikan mobilnya.

Di tengah perjalanan, ponselnya berbunyi, menujukkan nama seseorang yang sudah lama tidak ia temui.

"Ya, kenapa?"

"Lo jadi ke basecamp kan, Rassya?"

Tidak butuh waktu lama untuk Rassya Al-gaza menjawabnya, "otw."

  ♣️TAMAT♣️


HEHEW, syuda terjawabkan?
Maap kalau tidak sesuai ekspetasi kalian, dan memang semuanya sudah aku rancang seperti itu.

Terima kasih yang sebesar-besarnya buat para pembaca Shoplifting Heart, yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca, memberi vote dan komentar pada ceritaku yang jauh dari kata sempurna ini!

Tanpa kalian, aku nggak bakal semangat buat kelarin cerita ini.

Dan, kasih pesan dan kesan buat cerita ini yaw!

So, guys, once again thank you very much, and see you in my another story!

Jangan lupa vote dan komentar di part terakhir Shoplifting Heart!

Best Regards,

key, yang lagi senang akhirnya cerita ini selesai juga.

Shoplifting HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang