"Kirain kamu kayak Tri yang suka nggak bisa bedain mana tikus got mana hamster. Hehehe." Chandra melirik Cetta yang langsung mendengus, teringat pada insiden yang terjadi minggu lalu dan berakhir dengan ketiganya terkena hukuman Ayah. "Kucing itu memang terlahir dengan imut, polos dan suci tanpa dosa. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, dia semakin membesar dan terkontaminasi oleh racun dunia. Kucing garong aja dulunya hanya kucing polos yang menyusu kalem ke emaknya. Mana paham dia seni mencuri ikan emas goreng yang baru matang dan ditaro di atas meja tanpa pengawasan? Situasi yang sama juga berlaku pada manusia."

"Bahasa abang udah kayak bahasa vickynisasi."

"Seenggaknya abang belum pakai kalimat konsonan langit." Chandra membalas kalem. "Ibarat kata kucing, sekarang itu pacar bulukmu lagi berada dalam fase kebelet kawin. Kawin ya, bukan menikah, karena itu jelas berbeda. Atas nama kekhawatiran ini, abang nggak mau kucing abang—eh, adik abang maksudnya, jadi korban eksperimen kucing garong yang baru mengenal dunia."

"Tian nggak baru mengenal dunia. Kalau soal pengalaman, Tian juga beda-tipis sama abang."

Chandra berhenti menyuap makanannya sementara Ayah lagi-lagi terbatuk. "Maksud kamu apa?!"

"Dulu, sama mantan pacarnya, Tian sudah pernah melakukan sesuatu—" Suri membentuk tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya. "—yang rated."

"Tapi nggak sama kamu, kan?!"

"Sayangnya belum."

"Oriana." Ayah menyela dengan nada memperingatkan, membuat Suri langsung meringis.

"Bercanda, Ayah."

"Bagus, karena kalau sampai abang tau dia ngapa-ngapain kamu, abang bakal cacah badannya pake garpu ini. Biarin aja itu badan bocor dimana-mana."

"Abang pikir badannya Tian itu terbuat dari kantung kresek?" Suri memutar bola mata.

"Pokoknya besok kamu nggak boleh bantuin itu Sabut Kampung Naga pindahan."

"Ayah bilang boleh."

Serentak, ketiga abang Suri langsung berpaling pada Ayah mereka dengan pandangan terluka. "Ayah?!"

Ayah melegakan tenggorokannya, menatap bergantian pada ketiga anaknya dengan hati-hati. "Nilai Suri semester kemarin cukup bagus dan sejauh ini, Suri nggak minta apa-apa sama Ayah. Lagipula, Ayah percaya Sebastian nggak punya niat buruk seperti itu. Kalian sudah setuju sama Suri dan Sebastian berdasar surat perjanjian yang terbaru. Buktikan dengan tindakan dong, bukan hanya dengan omongan."

"Tapi, Ayah—"

Ayah meletakkan sendok dan garpunya di atas piring yang sudah kosong. "Ayah sudah kasih izin dan kalian jelas tau, Ayah nggak pernah menarik kata-kata Ayah."

Suri mengacungkan jempol pada ayahnya. "Pilihan yang tepat sekali, Ayah!"

Dan disinilah Suri sekarang, duduk di atas sofa ruang tengah apartemen Sebastian yang disesaki oleh kardus-kardus beraneka ukuran berisi barang-barang. Sebastian tidak membawa perabot dari rumah, namun tetap saja barangnya cukup banyak. Jam makan siang mungkin akan tiba sebentar lagi. Mereka sudah berencana pergi ke salah satu restoran terdekat langganan Sebastian setelah laki-laki itu selesai menata pakaian dalam lemari kamar tidurnya. Sementara, Suri diam menunggu bertemankan satu cup bubble tea yang dibelikan Sebastian dari kedai di basement gedung.

"Kenapa belum diminum?"

Lamunan Suri buyar seketika saat dia mendengar suara Sebastian diikuti sosok cowok itu yang keluar dari kamarnya. Suri selalu suka penampilan Sebastian di setiap waktu, namun Sebastian Dawala hari ini adalah favoritnya. Berbeda dengan pakaian hari kerjanya yang terkesan amat formal, Sebastian terlihat casual dengan sweater biru gelap yang lengannya sengaja dia gulung hingga siku untuk memudahkan gerak saat beres-beres.

NOIRWhere stories live. Discover now