dua belas

220K 22.3K 1.8K
                                    

Hampir seminggu sudah berlalu sejak terakhir kali Suri datang ke rumahnya. Hampir seminggu pula sejak Sebastian resmi mengungsi ke kamar tidur Sergio setiap malam karena tidak bernyali tidur sendirian di kamarnya. Setelah berkomunikasi dengan Suri—yang detilnya sama sekali tidak ingin Sebastian tahu—hantu Sarah memang tidak lagi mengganggunya seperti saat malam itu. Namun tetap saja, Sebastian masih dibuat paranoid karenanya. Lagipula, lebih aman tinggal di kamar Sergio sementara. Jadi dia tidak harus menahan diri untuk pergi ke toilet tiap malam hanya karena membayangkan wajah-wajah seram dari sejumlah film horor yang pernah dia tonton.

Hari ini hari Sabtu. Sebastian sudah menelepon kedua orang tuanya, memastikan kepulangan mereka. Mami sempat heran, karena tidak biasanya Sebastian terlihat menanti-nanti kepulangan mereka, namun setelah Sebastian bilang ada seorang anak perempuan bernama Suri yang perlu bicara dengannya, Mami pun tidak bertanya lagi. Bagus, karena Sebastian juga tidak ingin menjelaskan. Dirinya dan Sergio sudah cukup tersiksa minggu ini. Pertama, karena tidur Sebastian tidak nyenyak, hingga kinerjanya di kantor menurun. Kedua, karena Sergio benci harus berbagi kamar dengan kakaknya.

Seperti biasa, Sergio bangun lebih dulu. Dia melemparkan ujung selimut, lantas turun dari kasur dan bergerak langsung pada kalender yang tergantung di dinding. Tangannya meraih sebatang spidol merah, mencoret satu tanggal terakhir yang sudah dilingkari dengan sepenuh rasa tanpa menyadari kalau Sebastian yang ikut terbangun kini sedang memperhatikannya.

"Itu apa?"

Sergio tersentak, lalu melotot. "Yaelah, kak! Lo ngagetin gue!"

Sebastian memutar bola matanya dengan malas, lalu ikut bangun dari posisi berbaringnya. "Tanda silang itu... artinya apa?"

"Countdown."

"Gue juga tau, Gio."

"Countdown menuju terbebasnya kamar gue dari imigran gelap," Sergio menyindir, mengabaikan reaksi dramatis Sebastian saat dia meletakkan spidolnya kembali ke atas meja.

"Lo sebut gue imigran gelap?!"

"Apa dong? Pengungsi? Kebagusan. Emangnya lo korban bencana alam?"

"Gue korban konflik antara dua dunia, Gio."

Sergio mencebikkan bibirnya. "Sarah nggak mengganggu lo, Kak. Dan konflik yang lo bilang itu hanya imajinasi karena lo udah kelewat parno sama makhluk yang namanya set—"

"Jangan disebut!" Sebastian memotong keras.

"Kenapa?"

"Karena nanti dia bisa tahu kalau dia lagi diomongin!"

"Halah."

"Lagian lo perhitungan banget sih sama kakak lo sendiri. Jarang-jarang juga kan gue numpang ke kamar lo. Malah lo tuh harusnya inget dong siapa yang dulu sering menyelamatkan lo dari omelan Mami karena lo main bola sambil hujan-hujanan," Sebastian turun dari kasur. "Kalau urusan Suri dan hantu Sarah kelar hari ini, gue bakal balik ke kamar gue malam ini juga."

"Kalaupun urusannya nggak beres hari ini, lo nggak punya pilihan lain."

"Maksud lo?"

"Izin suaka lo untuk berlindung di kamar gue hangus malam ini."

Sebastian melotot. "Kok gitu, sih?"

"Dunia itu kejam, kak." Sergio menyahut malas, lantas berjalan menuju kamar mandi dan menghadiahkan satu bantingan pintu pada Sebastian yang langsung membuang napas. Cowok itu menatap gamang pada kalender di dinding kamar Sergio yang beberapa tanggalnya telah dinodai coretan tinta merah. Duh. Dia tidak takut hantu—oke, dia mungkin takut hantu. Tapi bukannya itu wajar? Semua manusia di dunia ini pasti punya sesuatu yang mereka takuti. Seperti bagaimana Sergio takut melihat sarang lebah, atau Mami yang membenci laba-laba. Sebastian tidak takut pada sarang lebah, atau bergidik setiap melihat serangga menggelikan seperti laba-laba atau kecoak. Dia hanya membenci makhluk astral. Itu saja.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang