tiga belas

198K 20.2K 4.6K
                                    

"Pi, kayaknya untuk perjalanan bisnis Papi yang berikutnya, Mami nggak ikut." Mami berkata tiba-tiba saat mereka sedang duduk untuk makan malam bersama. Ucapan Mami yang tidak terduga menuai respon yang beragam. Papi mengangkat alis. Sergio berhenti mengunyah. Sebastian sampai terbatuk-batuk keras.

"Maksud Mami?" Papi bertanya.

"Mami mau tinggal di rumah aja," Mami menjawab sembari menyendok tumis tahu dan sawi putih, lalu meletakkan makanan tersebut di atas piringnya. "Kalau dipikir-pikir, Mami udah terlalu sering ikut Papi. Kasihan anak-anak sendiri di rumah."

"Mam," Sebastian menyela dengan wajah tidak enak. "jangan bilang ini karena Suri. Selama ini, kita berdua baik-baik aja, kok. Gio belajar dengan baik. Aku juga nggak ada masalah apa-apa di tempat kerja. Jadi plis jangan jadiin aku sama Gio sebagai alasan."

Mami nyengir. "Hehehe. Ketahuan banget ya?"

"Duh, Mam," Sebastian bertopang dahi, menghembuskan napas frustrasi. "jangan deket-deket sama Suri. Aku nggak masalah Mami mau tinggal di rumah atau nggak ngikut Papi lagi atau apalah itu, tapi tolong, alasannya jangan cewek itu."

"Loh, emang kenapa?"

Sergio yang menjawab. "Suri suka sama Kak Bas, Mi."

"Gio!"

Sergio mencibir, lantas kembali menyuap sesendok nasi ke mulutnya. "Apa? Emang faktanya begitu, kan?"

"Wah, beneran Gio?!" Mami malah tampak girang.

"Beneran, Mam. Sumpah, deh." Sergio mengacungkan dua jarinya ke udara, lantas terkekeh jahil. "awalnya, Suri suka sama aku. Tapi waktu ngeliat Kak Bas, beuhhhh langsung beralih, Mam! Kak Bas tuh emnag lovable banget. Suri aja bisa langsung suka sama Kak Bas hanya dengan sekali lihat."

Sebastian melotot, yang kemudian Sergio balas dengan cibiran.

"Bagus, dong."

"Bagus apanya sih, Mam?!" Sebastian jadi gusar.

"Mami suka anak itu."

"Hah?! Aku nggak salah dengar kan?!" Sebastian dibuat makin gusar.

"Kamu kok kesannya anti banget sih sama Suri? Dia sudah rela ngebantu keluarga kita, loh. Tanpa pamrih. Anaknya tulus sekali, Mami bisa lihat itu dari matanya. Kasihan, dia pasti sering dipandang aneh sama orang-orang karena dia bisa lihat hantu."

"Nggak usah pake kemampuannya yang bisa lihat hantu, dia juga udah aneh."

"Sebastian!" Mami melotot, membuat mata Sebastian turut terbeliak. Astaga. Dia tidak salah dengar, kan? Seumur-umur, Mami tidak pernah berbicara dengan nada setinggi itu padanya kecuali Sebastian melakukan kesalahan fatal. Apa peduli Mami kalau Sebastian menjelek-jelekkan—oke, ralat. Sebastian tidak perlu menjelek-jelekkan Suri karena pada dasarnya Suri memang sudah jelek. Bukan dari fisiknya, melainkan tingkah lakunya yang tidak pernah berhenti membuat Sebastian melipat dahi.

"Kenapa, Mam?"

"Jangan ngomong begitu soal Suri. Kamu itu masih sama aja kayak dulu. Hobi menilai orang meski nggak kenal baik sama orang itu." Mami mendengus. "Suri itu anak baik. Dia anak yang manis. Cantik juga. Bagian mana yang nggak kamu suka?"

"Duh. Mami belum tahu aja karakter aslinya dia gimana?"

"Emangnya gimana?"

Sebastian mendengus pelan. "Parah deh, pokoknya. Abstrak banget. Nggak kebayang."

"Abstrak gimana?"

"Begitulah. Super pecicilan."

"Malah bagus, dong. Kan jadi melengkapi kamu yang hobinya diam kayak arca batu."

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang