tiga puluh lima

149K 17.8K 4.1K
                                    

Hari yang mereka antisipasi dengan penuh hati-hati akhirnya tiba.

Ketiga kakak Suri beserta Siena, Khansa juga Rana sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun sepanjang hari itu dan hanya berdiam di rumah Keluarga Dawala. Meski sudah beberapa hari berlalu dengan ledakan jumlah orang—juga makhluk astral—yang jumlahnya tidak main-main di kediamannya, Jia Dawala tidak terlihat keberatan. Perempuan itu menghabiskan hampir sepanjang waktu bersenandung, entah ketika dia sibuk menyemprot tanaman dalam pot-pot di kebun belakang rumahnya hingga saat dia memasak di dapur. Kadang, Jia juga mengajak Rana, Khansa, Siena dan Suri untuk minum teh bersama menjelang sore, dimana para wanita akan bercerita tentang masalah-masalah kewanitaan sambil mendengarkan lagu-lagu hits tahun 80-an. Jika sudah begitu, para laki-laki biasanya akan ditinggal untuk berebut stik playstation—seperti yang kerap dilakukan oleh Sebastian dan Chandra—atau berdebat mengenai siapa yang bersalah karena telah meninggalkan bungkus kacang garuda begitu saja di atas karpet—terakhir dilakukan oleh Cetta dan Calvin. Sergio, seperti yang sudah-sudah, hanya menjadi penonton setia yang kerap menjadi korban selisih paham antar kakaknya dengan kakak-kakak Suri.

Seperti hari-hari sebelumnya, waktu berlalu dengan terasa sangat membosankan buat Suri. Bagaimana tidak? Setiap dia bergerak kesana atau kesini, orang-orang di sekitarnya akan sibuk melotot diiringi pekik dia mau pergi kemana. Seperti apa yang terjadi tadi pagi. Sesaat setelah bangun dari tidur, Suri langsung bergerak menuju dapur. Tujuannya tentu sudah jelas, untuk mendapatkan sebotol dari berbotol-botol minuman Mogu-mogu rasa anggur yang sengaja Jia stok selama Suri tinggal di rumahnya. Tetapi, sebelum dia tiba di dapur, sosok Sergio dan Cetta telah lebih dulu menahan langkahnya.

"Kamu mau kemana?" Cetta bertanya, tampan seperti biasa meski hanya mengenakan celana panjang training warna abu-abu dan kaus putih polos tanpa motif. Ketika abangnya itu mendekat, samar Suri bisa mencium aroma khas yang dia kenali sebagai shampoo Rana dari baju Cetta. Bisa dipastikan, dua orang itu pasti tidur saling berangkulan sepanjang malam—sesuatu yang barang tentu tidak bisa Cetta dan Rana lakukan jika mereka ada di rumah. "Disana dapur loh, Suri."

"Aku juga tau disana dapur, abang."

"Di dapur ada pisau." Cetta mengingatkan lagi dengan nada yang berusaha dibuatnya kalem.

"Iya. Terus ada talenan. Ada penggorengan yang pantatnya gosong kayak Abang Calvin. Ada panci. Ada sabun. Ada sendok. Ada garpu. Ada blender. Ada sodet. Ada piring. Ada—"

"Maksud abang, dapur itu tempat yang berbahaya," Cetta menukas sebelum Suri menghabiskan sejam penuh hanya untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada di dapur rumah Keluarga Dawala.

"Abang kok jadi lebay banget, sih? Biasanya waktu di rumah, abang yang paling getol nyuruh aku nyuci piring bantuin Abang Calvin,"

"Kan situasinya berbeda, Culi."

"Kenapa? Karena aku lagi ada dalam situasi berbahaya-nyaris-mati sekarang?"

"Bukan gitu, Culi."

"Jangan songong gitu dong, sama my baby." Wati melayang entah darimana, langsung berhenti di sebelah Suri sembari menatap gadis itu dengan tatap memperingatkan. "Dia udah perhatian banget sama kamu loh."

"Bodo."

"Kamu ngomong 'bodo' sama abang?" Mata Cetta terbelalak dengan dramatis, sementara Sergio turut memandang Suri dengan pandangan seolah-olah Suri baru saja merencakan genosida untuk memusnahkan setengah populasi dunia. Beberapa hari tinggal serumah dengan ketiga abang, Sergio paling dekat dengan Cetta. Entah kenapa keduanya langsung cocok. Mungkin karena Cetta adalah tipikal kakak laki-laki yang bisa serius dan bisa bercanda disaat yang bersamaan—berbeda dengan Chandra yang tidak pernah serius dan Sebastian yang hampir tak pernah bisa diajak bercanda. Kalau Calvin sih mana peduli sama Sergio. Satu-satunya yang ada di pikiran cowok itu hanya Suri, Ultraman, tidur, Khansa dan popcorn. Oh ya satu lagi, yoghurt stroberi.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang