dua puluh sembilan

170K 18.7K 2.8K
                                    

Sebastian dibuat bingung tatkala Suri gemetar tanpa kendali. Gadis itu berdiri kaku, menatap nanar pada sisa-sisa kekacauan di dekat mereka. Tidak lama kemudian, air mata berjatuhan di pipinya. Wajahnya menyiratkan ketakutan yang amat sangat, seperti dia baru saja menyaksikan sesuatu paling mengerikan dalam hidupnya. Sebastian tidak mengerti. Memang, bingkai lukisan yang jatuh itu hampir menimpa mereka—dan jika dipikir-pikir, bisa saja menyebabkan gegar otak kalau sampai mengenai kepala, mengingat ukuran dan beratnya yang tidak bisa dikatakan ringan. Tapi kenapa Suri harus bereaksi sampai sebegitunya?

"Suri,"

Isakannya makin keras. Sebastian benci itu. Perempuan yang menangis adalah kelemahannya. Dia paling tidak bisa melihat perempuan menangis di dekatnya. Sebastian menarik napas, berusaha meredakan deru dalam dadanya. Lalu, sebelum dia sadar, detik berikutnya dia telah menarik Suri ke dalam pelukan.

Sebastian memeluknya erat, menepuk-nepuk punggungnya seperti berusaha menenangkan. Suri tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu terus saja menangis, membasahi kemeja biru langit Sebastian dengan air matanya.

"It's okay, it's okay. You're safe."

Suri masih larut dalam sedu-sedan, dan Sebastian masih memeluknya erat ketika dua orang petugas keamanan hotel menghampiri mereka. Petugas itu menatap heran pada Suri dan Sebastian, tapi perhatian mereka dengan cepat teralih pada puing-puing dan bangku koridor yang sudah penyok. Suasana sepi. Sepertinya orang-orang terlalu sibuk berpesta.

"Lukisan itu jatuh tiba-tiba." Sebastian memberitahu ketika salah satu dari petugas bertanya. "Hampir menimpa saya dan teman saya. Dia terlalu terkejut. Saya rasa, pihak hotel harus memeriksa semua lukisan. Siapa tahu, itu bukan satu-satunya lukisan yang tergantung dengan rapuh. Protokol keamanan kalian harus diperbaiki."

Mendengar rentetan kalimat dingin yang Sebastian ucapkan, petugas itu dibuat bungkam. Dengan wajah malu, dia membungkukkan tubuh beberapa kali—sesuai dengan citra hotel yang memang konon menggunakan pesona khas Asia Timur dalam memikat tamu untuk menginap—dia meminta maaf, yang Sebastian iyakan sambil lalu. Dua petugas itu kemudian sibuk memanggil tim untuk membersihkan sisa pecahan kaca dan kayu, juga mengganti bangku yang penyok dengan bangku baru. Seiring dengan waktu yang berlalu, tampaknya Suri berhasil membuat dirinya lebih tenang. Dia tidak menangis lagi saat Sebastian melepaskan pelukan mereka.

"Kita pulang sekarang?"

Suri mengangguk.

"Okay." Sebastian menatap Suri dengan hati-hati. "Bisa jalan? Mau digendong?'

Pada situasi normal, Suri pasti akan langsung dibikin girang. Tapi tampaknya, gadis itu terlalu kaget untuk berpikir jernih. Dia menggeleng lagi, walau lututnya terasa lemas.

"Aku mau pulang."

"Oke. Kita pulang sekarang."

"Tapi gimana sama mantan kamu?" Suri seperti baru terpikirkan pada acara yang mereka tinggalkan.

"Gampang. Gue bisa telepon nanti." Sebastian menyambung lagi. "Mending kita pulang sekarang. Lo pucat banget. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo."

Suri tidak tahu bahwa kalimat terakhir Sebastian sarat dengan ketulusan.

n  o  i  r

"Sepanjang sore kamu asyik banget ngobrol sama Ayah."

Gerakan tangan Rana yang sedang menyendok sereal dari mangkuk di depannya langsung terhenti ketika mendengar Cetta mendadak bicara. Gadis itu mengangkat salah satu alis, menatap Cetta sejenak. Dia langsung paham saat melihat sorot cemburu yang berkelebat di mata Cetta. Cetta mungkin adalah cowok paling ganteng dan paling penuh perhatian yang bisa dimiliki seorang gadis, tapi dia juga punya kekurangan. Cetta punya rasa cemburu yang besar. Karena itu, dia mengerti jika Rana cemburu saat dia melakukan photoshoot endorsement dengan gadis lain.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang