#28

105K 12.7K 3.4K
                                    

Senyum masih melekat di wajah Suri ketika gadis itu berbalik, membuat matanya dan mata Sebastian bertemu. Cowok itu balik tersenyum padanya, dengan jenis senyum yang mampu mencipta lelehan hangat dalam dada Suri. Sebastian bukan tipe orang yang mudah tersenyum. Sekali pun dia tersenyum, biasanya itu bukan benar-benar berupa senyum, melainkan hanya satu tarikan tipis bibir yang tidak kentara. Gerimis masih turun, namun mereka terlindungi dengan baik di bawah naungan payung meja.

"Kamu telat." Suri cemberut.

"Cuacanya buruk. Jadi penerbangannya sempat delay." Sebastian merasa seperti harus menjelaskan, lantas tangannya terulur, menghapus jejak basah yang ada di pipi Suri. "Dan ini semua gara-gara lo."

"Kok gara-gara aku?"

"Soalnya lo cengeng. Jadi langitnya ikut sedih. Terus hujan. Terus penerbangannya sempat ditunda. Gue kasih tau ya, menunggu sendirian di lounge maskapai malam-malam di tengah hujan itu benar-benar nggak menyenangkan."

"Kenapa gitu?"

"Soalnya... banyak cewek cantik yang juga ikut nunggu di lounge bareng gue."

Spontan, Suri langsung meninju pelan dada Sebastian. Tindakannya membuat Sebastian terbatuk seraya memasang ekspresi seolah-olah hantaman kepalan tangan Suri benar-benar membuatnya kesakitan, namun tentu saja itu pura-pura karena sedetik berikutnya, Sebastian lagi-lagi tersenyum.

"Jahat." Suri menggeram. "Aku ulang tahun hari ini. Bukannya siapin kado, kamu malah lirik-lirikan ganjen sama cewek lain. Atau jangan-jangan lebih dari lirik-lirikan ya?"

"Kalau lebih, kenapa?"

Suri langsung merengek. "Sebastian!"

Sebastian tertawa sebelum melonggarkan genggaman tangannya pada kedua pergelangan tangan Suri. Lalu dia mendekap gadis itu sekali lagi, membiarkan napas hangat Suri menerpa bagian dada kemeja yang dia pakai selama beberapa saat. "Honestly, I don't understand your reactions. All those other girls, Girlie, they got nothing on you." Sebastian berujar diikuti pelukannya yang terlepas. "Happy birthday. Sori, gue telat."

"Permintaan maaf kamu aku tolak."

"Oh, come on."

Mata Suri menyipit. "Kamu tuh minta maaf tapi kayak nggak ada rasa bersalahnya. Pasti beneran deh, sempat lirik-lirikan sama cewek lain waktu nunggu di lounge maskapai. Coba sekarang kasih tau aku, delaynya berapa lama? Jangan-jangan kamu sempat makan-makan cantik ya di Changi?"

"Gue cuma bercanda."

"Bohong."

"Serius." Nada suara Sebastian berubah tegas. "Konser kakak lo masuk berita. Lo pasti nggak tau. Gue juga nggak ngerti, karena menurut gue kakak lo nggak seterkenal itu juga. Lagunya masuk standar dunia juga nggak. Tapi itu nggak penting."

"Terus apanya yang penting?"

"You scared the hell out of me." Sebastian merundukkan kepalanya, menatap Suri lekat-lekat. "Gue nyaris nggak bisa berpikir. Gue mencoba menghubungi ponsel lo tapi nggak nyambung. Gue mencoba menghubungi kakak lo si Krucil paling tua itu juga jaringannya sibuk melulu. Lo nggak tau gimana tersiksanya gue nunggu penerbangan gue diberangkatkan di bandara, sendirian, dengan pikiran bakal terjadi apa-apa sama lo."

Suri terdiam.

"Saking paniknya gue, gue sampai nggak sempat mampir ke rumah buat ganti baju. Atau buat mengambil apa yang perlu gue bawa." Sebastian berpikir sejenak sebelum meneruskan. "Your birthday present."

Ucapan Sebastian membuat Suri baru sadar jika cowok itu memang masih mengenakan setelan formal yang biasa dia pakai setiap pergi bekerja. Kemejanya masih rapi, meski agak sedikit kusut di bagian lengan. Sebastian juga tidak lagi mengenakan dasi karena dua kancing teratas kemejanya tidak lagi terpasang. Rambutnya agak sedikit lembab, mungkin karena terkena titik-titik air gerimis yang masih terus turun. Dia berbau seperti hujan, malam dan rasa lelah. Tiba-tiba, Suri merasa bersalah.

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang