Empat belas JIWA YANG SAKIT

Comincia dall'inizio
                                    

"Ya sudahlah. Repot ngomong sama kamu itu. Kalau jodoh tak kemana."

"Jadi boleh ini aku berjuang."

"Terseraaaah..." Gemintang beranjak dan duduk di kursi belajarnya. Kursi yang akan menjadi kursi belajarnya lagi sekarang. Kembali lagi ke kamar ini. Meninggalkan kemegahan rumah bangsawan Pananggalih beserta isinya.
Kemegahan yang nyatanya menggoreskan luka menyakitkan yang Gemintang yakin akan membekas seumur hidupnya.

Sore beranjak ketika Gemintang keluar dari kamar dan menutup pintu. Membiarkan Putri yang terlelap karena kelelahan.

--------------------------------------------------

"Tidak bisa begitu, Melanie. Gemintang itu sudah dewasa. Dia berhak menentukan hidupnya sendiri."

Suara seorang pria terdengar ditekan begitu rendah. Tangannya terlihat mengetuk meja berulang kali.

Hilmawan Desembriarto, menatap tajam pada seorang wanita berambut coklat yang disanggul rapi. Wanita yang duduk dengan tegak di depannya itu menipiskan bibirnya.

"Kau menyerahkannya pada orang yang salah, Mawan. Bagaimana mungkin aku bisa percaya padamu?"

"Kau bahkan tidak mau mengurusnya saat dia masih kecil. Dan sekarang kau datang untuk mengambilnya? Melanie...kau bahkan sudah menikah lagi dan...aku tidak mau anakku..."

Perempuan bernama Melanie itu mengangkat tangannya.

"Aku ingin bertemu anakku, Wan. Tolonglah."

"Aku tidak pernah melarang mu bertemu Gemintang. Kau yang tidak pernah meluangkan waktumu untuk bertemu dengannya."

Hilmawan Desembriarto beranjak. Tempat itu mulai ramai. Sebuah kafe yang dikunjungi Hilmawan sesaat lalu karena mantan istrinya yang bernama Melanie, tiba-tiba datang dan mengirimkan pesan, meminta haknya sebagai seorang Ibu.

"Kau boleh menemuinya karena itu tetap hak mu. Tapi, membawa Gemintang ke Perancis? Rasanya tidak."

Melanie menatap Hilmawan yang kembali menoleh padanya. Lalu pria itu berjalan dengan langkah cepat keluar dari kafe. Mengabaikan tatapan seorang pria lain yang duduk tak jauh dari meja mereka. Melanie menghela napas pelan. Suami barunya menunggu. Memberi dia dan Hilmawan waktu untuk bicara. Melanie menggeleng dan akhirnya melangkah menghampiri pria itu. Mereka keluar beriringan dengan diam.

------------------------------------

Gemintang termenung. Bapaknya baru saja keluar dari ruangannya. Dia datang dengan wajah yang kuyu. Dan tidak biasanya Bapaknya menyusul ke klinik. Pembicaraan mereka layaknya Bapaknya yang ber--monolog. Gemintang hanya mendengarkan tanpa tahu harus seperti apa. Jelas dia bingung. Apakah perlu menemui Ibunya yang bahkan meninggalkannya saat dia baru berusia 3 tahun? Tapi bagaimanapun juga dia Ibunya. Bermacam pikiran silih berganti. Penyangkalan. Pembenaran. Tumpang tindih di dalam otaknya.

Pintu diketuk. Sebuah kepala menjulur. Wajah yang tak ingin di temui oleh Gemintang saat dia kalut seperti ini.

"Ada perlu apa, Ngger?"

Angger masuk sambil mengernyitkan dahi.

"Harus ya ada perlu sama kamu kalau mau ketemu?"

Gemintang terdiam. Lalu menggeleng. Tangannya terulur mempersilahkan Angger duduk. Setelah kejadian itu...mereka seperti ini. Tidak ada kejelasan. Setidaknya buat Angger yang merasa belum mendapatkan jawaban dari Gemintang. Semua baginya masih tampak sebagai ketidakjelasan status hubungan. Tapi Gemintang menyuruhnya menunggu. Dan Angger menunggu.

"Sudah makan?" Pertanyaan klise keluar dari mulut Angger.

Gemintang menggeleng.

"Ya sudah ayo, makan." Angger beranjak dan menarik tangan Gemintang untuk keluar dari ruangannya. Gemintang berjalan dalam diam dan masuk ke mobil Angger yang terparkir di halaman. Mobil melaju cepat membelah jalan raya. Sepanjang jalan tak ada yang berbicara. Angger memilih diam dan menunggu. Menunggu Gemintang bercerita sendiri.

DARI BALIK KELAMBUDove le storie prendono vita. Scoprilo ora