Chapter 1 - The First Meeting

31.1K 747 14
                                    

Pagi-pagi sekali Laura sudah melakukan akrobat. Ia buru-buru merapikan tumpukan kertas dan file yang berserakan di tempat tidurnya lalu memasukkan semuanya ke dalam tas jinjing kantornya. Dengan tangan kiri menjinjing tasnya, ia menggunakan tangan kanannya untuk meneguk kopi. Itu semua dilakukannya sambil menjepit ponsel di dagu.

Si penelepon yang notabene adalah Bosnya terhormat, masih berbicara tanpa henti. Membuat Laura dongkol sendiri.

Laura melangkah menuju pintu depan. Mengetahui majikannya akan berangkat kerja, Jeni berlari menuju pagar depan dan membuka kunci pagar.

Mobil hitam melaju, meninggalkan Jeni yang berusaha menutup kembali pintu pagar. Laura masih setia menjepit ponselnya di dagu dan bahu kanannya. Sesekali Dia menanggapi ocehan Bosnya yang semakin menjadi.

Waktu sedang tidak bersabat dengan Laura. Dalam waktu kurang lebih 40 menit, ia harus duduk manis di kursi rapat, dengan Boss yang terhormat. Sedangkan ia sama sekali belum mengechek persiapan di ruang rapat nanti.

File yang harus ia presetasikan saja baru selesai pukul 3 dini hari. Yang artinya, Laura belum tidur sama sekali. Persetan dengan kantung mata. Susah payah ia memake over mukanya agar kelihatan fress.

Mobil BMW Laura sudah terparkir di area parkir kantor. Buru-buru ia mengeluarkan semua berkas yang ada di kursi penumpang dan jangan lupakan hig heels yang sekarang sedang ia jinjing di tangan kanannya.

"Kebiasaan sekali kau ini, Laura!" sapaan pertama kali yang Laura dengar dari sahabatnya.

"Berisik kau! Dari pada kau hanya membuat telingaku sakit, mending bantuin aku bawain heels ku." Nora terkekeh pela, ia langsung berjalan mendekati Laura dan mengambil alih tas jinjing dan heels merah marun milik sahabatnya.

Langkah kedua wanita itu bergerak memasuki lift yang akan membawa keduanya ke lantai 13.

"Kau tahu, pemilik Restauran Roberta akan benar-benar datang di rapat nanti. Kau harus semaksimal mungkin. Kesempatan ini tidak datang dua kali," jelas Nora.

Bunyi yang menunjukkan jika lift sudah berhenti membuat mereka melangkah keluar stelah pintu lift terbuka.

"Tergantung maksimal dalam artian apa yang kamu maksud," ucap Laura sembari mengangkat pundaknya.

Nora memutar bola mata, "Maksimal yang kumaksud adalah presentasimu. Buat dia tertarik agar kerja sama Hotel Guirde dengan Restaurant Roberta berhasil. Kau tahu sendiri bukan, jika Mr. Robert terkenal pemilih!"

Laura hanya tersenyum mendengar ucapan sahabatnya yang penuh rasa antusias.

"Apa kau sedang mengodeku untuk berlaga genit dan menunjukkan balutan bokongku padanya atau menunjukkan belahan dadaku?" Laura berkata dengan nada jahil sembari memincingkan matanya.

Nora melongo mendengar ucapan absurd sahabatnya, "Astaga, kepentok apa sih kepalamu tadi? But, it's okay jika kau mau bercinta dengan om-om tua. Yaaa walaupun pawakannya masih gagah, tetapi tetap saja, dia sudah tua."

Laura terkekeh pelan. Kemudian pandangannya teralihkan dengan kehadiran Mr.Smith.

"Ku kira kau akan terlambat," ujar Mr.Smith.

Laura dan Nora tersenyum.

"Selamat pagi kembali Mr.Smith," ucap Laura yang bermaksud menyindir atasannya.

Mr.Smith tersenyum miring, "Bisa-bisanya kau berkata seperti itu disaat kau 5 menit hampir terlambat. Cepat keruang rapat, kau tahu ini adalah bisnis terbesar."

Laura hanya mengangguk.

"Jangan lupakan heels mu, aku tidak suka karyawan yang aku bangga-banggakan memakai sendal jepit saat acara rapat nanti," jelas Mr.Smith sambil berlalu.

Nora menyikut Laura sembari tersenyum jahil. Sedangkan Laura hanya memutar bola matanya.

"Kau bawa ini, aku akan ke toilet sebentar." Di detik selanjutnya, berkas sudah pindah tangan ke Nora sedangkan tas jinjing dan heels sudah berada digenggaman Laura.

Laura segera berjalan cepat menuju kamar mandi, sengaja mengabaikan tatapan Nora yang menyuruhnya untuk jangan pergi kemana-mana.

Langkah Laura terhenti ketika mendengar umpatan dari belakang dinding pembatas toilet wanita dan pria.

"Sudah kukatakan berulang kali, bahwa aku mencintainya dan akan tetap begitu."

"..."

"Apa?! Aku bukan lelaki yang merebut wanita ketika wanita itu akan menikah."

Sepertinya lelaki itu sedang berbicara via telephone, batin Laura

"Aku cukup bahagia melihatnya bahagia, biarkan mereka bahagia, Grandma."

Ah, patah hati ternyata

"Baiklah."

'Ting'
ponsel Laura berbunyi, menandakan notifikasi masuk. Dan itu memicu berakhirnya percakapan lelaki itu.

"Sudah dulu ya."

Lelaki itu mengakhiri panggilannya, aduh bagaimana ini.... Laura kalang kabut, ia malangkah ke pintu toilet wanita dengan segera. Namun kalah cepat dengan cekalan di pergelangan tangannya.

Lelaki itu membalikkan badan Laura hingga menghadapnya dan mendorongnya hingga membentur tembok.

"Aduh!" Laura sedikit meringis.

"Apa Ibu mu tidak pernah mengajarimu sopan santu Nona? Dengan tidak menguping pembicaraan orang lain?" ucap lelaki itu dengan nada rendah, pertanda bahaya.

Laura berusaha menormalkan detak jantungnya dan suaranya agar tidak terkesan gugup.

"Bagaimana kalau Saya memilih tidak menjawabnya?" ucap Laura.

Lelaki itu mengambil dua langkah maju dari posisinya. Berusaha mengunci tubuh Laura di dinding. Laura harus mendongak untuk menatap lelaki yang tengah tersenyum miring. Tatapan Laura penuh tantangan tanpa rasa takut.

"Kau begitu berani Nona.," bisik lelaki itu di dekat telinga Laura.

"Huh, untuk apa Saya takut padamu? Toh kita sama-sama manusia." Ucapan Laura sangat membuat lelaki itu meradang.

"Really? Mari kita buktikan, woman..." Di detik selanjutnya, lelaki itu sudah berjalan menjauh dari Laura, jangan lupakan senyum merehkan yang terukir di wajah lelaki itu.

Dasar lelaki patah hati
***

***

Hay hay hayy
Saya Nina Eng, Thanks full karena udah baca cerita pertama aku, sebagai akun Nina Eng.
Mau tahu siapa pemainnya?
Stay in my Imagination

Love and big kiss
Nina Eng

The Charm Of A Bastard (REVISI)Where stories live. Discover now