Blanc berhenti sejenak ketika dia tiba di depan pintu besar—sebetulnya, Suri tau itu bukan sekedar pintu, tetapi kata pintu adalah kata paling mendekati yang mampu menggambarkan penampakan benda itu. Jemari pucatnya mengeluarkan selembar kartu berisikan nama milik jiwa yang akan dia jemput dari Samsara. Selesai mengecek ulang, Blanc membuka pintu tersembut, menampilkan sebuah ruangan luar biasa gelap yang penuh dengan teriakan frustrasi. Suri sempat bergerak mundur beberapa langkah karena jeritan-jeritan itu bukan hanya menyakiti telinganya, tapi menusuk batinnya dan menyebarkan gentar yang ganjil. Tetapi matanya masih bisa melihat jelas saat Blanc memanggil sebaris nama, dan seseorang keluar dari sana.

Orang itu masih sangat muda. Kalau harus menebak, Suri bertaruh dia mungkin seumuran dengan Chandra atau satu-dua tahun lebih tua. Rambutnya yang hitam berantakan dan garis hitam di bawah matanya. Kulitnya luar biasa pucat, meski tidak sepucat Blanc atau malaikat-malaikat lainnya yang pernah Suri lihat.

"Adya Wiranata?"

Ada seringai ganjil yang muncul di wajah sosok itu. "Kamu benar."

"Sudah waktunya aku membawamu ke tempat yang seharusnya."

"Apa yang sebetulnya harus dan tidak harus?" Adya mendadak bertanya, membuat Blanc seketika membeku di tempatnya berada. Suri tau mengapa Blanc seperti itu. Pertanyaan Adya tidak jauh berbeda dengan kata-kata Nael waktu dia bicara dengan Blanc pada kilas balik sebelumnya. "Ada sesuatu yang mengganggumu, Nona Malaikat?"

Blanc menatap Adya. "Tidak. Meski begitu, berhenti bicara. Aku harus segera membawamu ke suatu tempat. Sebaiknya, kamu tidak melawan."

"Aku tidak berencana melawan." Adya terkekeh. "Tapi kamu tau, di dalam itu sangat buruk. Berapa lama aku sudah terjebak di dalam sana hingga kamu datang? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Ah, kita tidak pernah tau karena ukuran ruang dan waktu tak berlaku dalam Samsara. Aku bersedia pergi kemana pun, sesuai kemauanmu, asal tidak kembali ke dalam sana. Namun, aku ini agak kesepian. Maukah kamu mendengar ceritaku sebentar saja?"

"Aku tidak seharusnya—"

"Apa sebetulnya yang harus dan tidak harus?"

Blanc kontan terbungkam.

Lantas tanpa diminta, Adya mulai berkisah. Dia bercerita tentang seorang Raja yang mencintai seorang gadis. Cintanya demikian besar untuk gadis itu, bahkan dia berani bertaruh cinta Sang Raja jauh lebih besar dari seluruh jagad raya. Cinta itu tanpa syarat. Cinta itu serupa samudra. Dia teramat luas, dalam dan tak bertepi. Tetapi cinta itu juga yang kemudian membunuh Sang Raja. Cinta itu yang membuat Sang Raja ditusuk oleh pengkhianatan, dari semua orang yang berarti seluruh dunia baginya.

Cinta itu yang kemudian menyegel Sang Raja ke dalam Samsara, tersiksa diantara gulita selama puluhan tahun lamanya.

"Sang Raja yang kumaksud adalah aku."

Blanc menatap nanar.

"Aku tidak keberatan untuk mengikutimu kemana pun kamu pergi, ke tempat apa pun yang kamu mau, tetapi jika boleh, aku ingin diberi kesempatan membalas perbuatannya. Aku ingin membalas perbuatan orang itu, yang telah membunuh gadis yang kucintai dan menjebakku dalam Samsara."

Blanc tidak merespon dengan kata-kata. Dia hanya menggerakkan tangannya, membentuk simbol-simbol rumit dengan jemarinya hingga detik berikutnya, sosok Adya menghilang dari sana. Suri tidak harus bertanya untuk mengetahui apa yang terjadi; Blanc baru saja melepaskan satu jiwa dari Samsara.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
NOIRWhere stories live. Discover now