(1) Tentang Dia Yang Tak Ku Kenal

700 74 56
                                    

'Hingga saat ini aku masih menunggunya. Seseorang yang mampu menggetarkan hatiku dalam sekejap mata.

Sejak pagi yang mendung itu, aku memutuskan untuk memberikan hatiku hanya untuknya seorang.'

"Duarr, hayoo nulis apa?" suara jahil itu tiba-tiba membangunkan lamunanku.

"Ih, kamu ini, ngagetin aja." Aku menggerutu kesal pada gadis yang mengusik diamku itu.

"Serius banget sih, Vei. Nulis apaan? Ada tugas emang?"

Ia melengos dari hadapanku, kemudian bergeser duduk di sampingku.

Aku meliriknya sinis, lalu menyahut, "Kepo!"

Dia pun tak berkata lagi, hanya memutar bola matanya jengah mendengar responsku.

Dia Selly, sahabat dekatku yang sangat berisik dan tidak bisa diam walau hanya sedetiiik saja. Tapi, aku sayang, sih. Meski terkadang dia menyebalkan ketika bermacam celotehan panjangnya ia lemparkan semua padaku.

Padahal responsku cuek. Biasa-biasa saja. Jarang menunjukkan mimik wajah tertarik malah. Tapi tetap saja dia tak bisa berhenti mengoceh ria saat ada cerita menarik dalam benaknya.

"Pulang yuk! Udah nggak ada kelas juga," ajaknya kemudian.

Benar kataku kan, kalau diam beberapa detik saja dia pasti bosan. Makanya dia membuka suara lagi. Tak ada kegiatan lain juga. Pembicaraan menarik pun tak ada.

Namun kali ini bukan karena hal itu. Lantaran sudah waktunya pulang saja, sih. Jelas bosan kalau terus-terusan berada di sini--di kampus.

Tapi dengan tak berdosanya, aku malah menggelengkan lemah kepalaku. Mengisyaratkan padanya bahwa 'aku tak mau pulang'.

Selly pun menaikkan satu alisnya ke atas, kemudian kembali bertanya, "Terus, kamu mau nginep di sini gitu?"

"Enggak sih. Aku mau pulang..."--melirik kearah Selly yang tengah serius mendengarkanku--"kalau kita naik bus," jawabku kemudian, dengan memasang wajah harap-harap cemas.

"Gimana? Mau ya?" sambungku dengan nada memelas.

Tiba-tiba Selly merubah raut wajahnya, alisnya tak lagi naik sebelah, namun sudah sejajar dan terpaut tajam mengunci pandanganku.

"Naik bus lagi? Ngapain, Vei? Ini kan bukan hari jum'at?" protes Selly.

Dia mendadak emosi mendengar permintaanku. Lalu dengan tegas ia menolak dan berkata, "Enggak." kemudian memalingkan wajahnya dariku.

Tanggapannya tak seperti dugaanku, meredupkan semangatku dalam sekejap. Dia lantas menyilangkan kedua tangannya bersedekap pertanda dia sedang kesal. Senyumanku memudar karena melihat tingkahnya yang tiba-tiba acuh padaku.

"Apa yang kamu harapkan sih, Vei? Kamu masih menunggunya? Mau sampai kapan? Ini sudah berjalan 2 tahun sejak pertemuanmu dengan lelaki tidak jelas itu," sambung Selly lagi, dengan nada yang agak meninggi.

Dia mengerti, dia benar-benar tahu apa maksudku memintanya pulang menemaniku naik bus kota. Padahal aku tak terlalu memperjelas keinginanku itu, tapi dia sudah hafal. Hafal betul apa maksud dan tujuanku saat aku sudah merajuk ingin pergi dengan bus kota. Makanya dia jadi sensitif saat mendengar hal itu.

Dan aku pun, tak mampu mengelak lagi.

"Aku merindukannya, Sell. Aku ingin sekali bertemu dengannya," ungkapku lesuh, seraya merebahkan kepalaku di atas meja beralas buku.

Aku kembali mencoret-coret buku yang setengahnya ku tindih itu. Tak mau lagi memedulikan Selly yang tengah menatapku jera.

Suasana menghening seketika. Satu persatu mahasiswa yang ada di kelas ini mulai bepergian keluar ruangan, menambah kesunyian yang begitu mencekam.

SO PRECIOUS (PART COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang