"Nggak bakal boleh masuk." Cetta mengambil alih buku menu dari tangan Suri yang sudah selesai memilih. "Tadi abang udah kesana. Nggak boleh masuk, soalnya udah ada Siena yang nemenin. Malika paling juga sibuk janjian sama ceweknya. Atau janjian sepedahan bareng calon mertuanya weekend nanti. Gercep abis emang itu benda hitam. Takut nggak dapet cewek yang kayak Khansa lagi kali ya kalau yang ini sampai lepas."

"Oh, pantesan abang nyamperin aku. Ternyata aku pilihan terakhir buat abang."

"Bukan gitu. Kamu hobi banget berburuk sangka sama abang?"

"Wajar." Suri melipat tangan di dada. "Makanya, buruan baikan sama Kak Rana. Kalau Kak Rana sampai lepas, abang bisa merana seumur hidup."

"Jangan salah ya, banyak yang mau sama abang."

"Banyak yang mau karena abang ganteng. Coba kalau udah pacaran terus lihat semua kejelekannya abang, soal bokser abang yang masih bergambar tokoh kartun, soal playlist lagu abang yang ada lagu Rhoma Iramanya. Pasti abang langsung diputusin, dan itu berlaku buat cewek mana pun. Kecuali Kak Rana."

Lagi-lagi, Cetta hanya bisa cemberut.

"Abang nggak minat bahas itu."

"Terus mau bahas apa?"

"Gimana kalau kita mulai bahas soal omongan kamu semalam?"

"Omongan aku yang mana?" Suri justru melempar tanya.

"Omongan kamu sama entah-siapapun-itu-yang-nggak-ada-wujudnya di kamar kamu semalam."

Mata Suri terbelalak. "Abang nguping?!"

"Nggak sengaja dengar. Lagian kamu ngomongnya keras banget. Sekarang kasih tau abang, apa maksud omongan kamu semalam?"

Suri terdiam, merasa seperti pencuri yang baru tertangkap basah.

"Culi, abang ngomong sama kamu, loh."

"Semuanya sesuai kayak yang abang dengar."

"Abang nggak ngerti."

"Ceritanya panjang, abang. Kalau aku ceritain sekarang, sampai maghrib juga nggak bakalan kelar."

"Abang lagi nggak mau bercanda soal ini, Suri." Wajah Cetta berubah serius, membuat Suri terbungkam seketika. Setiap kali melihat Cetta yang berekspresi seperti itu, Suri justru teringat pada Ayah. Rasanya seperti dimarahi oleh Ayah karena tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "Apa pun itu, yang jelas abang nggak suka kalau kamu terlibat bahaya lagi. Kejadian kemarin udah cukup buat keluarga kita. Semua orang khawatir sama kamu. Even belalang sembah itu. Kamu mau bikin kita khawatir lagi?"

"Maksud abang?"

"Iya, kita semua khawatir banget waktu itu."

"Bukan soal itu." Suri mengoreksi. "Tapi soal Tian. Dia kenapa?"

Cetta menghela napas, terlihat tidak suka membicarakan Sebastian tapi akhirnya dia tetap menjelaskan. "Dia selalu nemenin kamu setiap ada kesempatan. Dia bahkan pernah nggak masuk kerja demi nemenin kamu. Jangan salah sangka. Abang masih nggak setuju kamu sama dia, because surely, my lovely sister deserves better. Tapi dia emang sesayang itu dan sekhawatir itu sama kamu. Paling nggak dari yang abang lihat."

"Oh, gitu."

Ucapan Cetta mau tidak mau membuat Suri kembali memikirkan tentang apa yang dia lakukan terhadap Sebastian selama beberapa hari terakhir. Dia menolak semua panggilan telepon cowok itu, juga tak membalas satu pun pesan yang Sebastian kirimkan. Sampai akhirnya Sebastian berhenti menelepon dan mengirimnya pesan. Suri tidak mengerti apakah Sebastian sudah menyerah atau sengaja memberinya ruang. Namun setelah tau apa yang Sebastian lakukan ketika dia terjebak dalam koma beberapa bulan lalu, Suri merasa dia sudah bersikap terlalu jahat.

NOIRWhere stories live. Discover now