"Hai, Culi." Chandra melambai kaku. "Kamu... kenapa?"

Suri mengusap hidungnya yang masih berair dan merah. "Nggak apa-apa." katanya, lalu dia langsung pergi menuju mulut tangga yang akan bermuara di lantai atas, tempat dimana kamar tidurnya berada. "Aku turun nanti agak telat. Ayah sama abang-abang kalau mau makan malam, makan malam duluan aja."

"Oriana, kamu nggak sakit, kan?" Ayah bertanya khawatir.

"Nggak."

"Tapi hidung kamu merah."

"Abis kejedot pintu pagar."

Ayah dibuat bungkam seketika. Bukan karena jawaban Suri, melainkan karena nada suara yang digunakan gadis itu ketika bicara. Suri memang bukan anak manis yang tidak pernah marah, hanya saja, jarang sekali dia menggunakan nada setajam itu ketika bicara dengan para laki-laki tersayangnya di rumah. Keterkejutan itu rupanya tidak cuma melanda Ayah, namun juga ketiga kakak laki-laki Suri yang lain. Mereka sontak dibuat ternganga hingga suara bantingan pintu kamar Suri yang ditutup terdengar.

"Itu sih bukan Badai Katrina." Calvin berdecak sembari mengusap rahangnya, memasang wajah pemikir kelas atas layaknya Sherlock Holmes. "Itu namanya tornado."

"Kenapa ya?"

"Dia nggak berantem sama Sebastian, kan?"

Refleks, kepala para abang tertoleh pada Ayah. "Dari mana Ayah tau?"

"Loh, jadi itu betulan? Oriana betulan bertengkar sama Sebastian?" Ayah justru balik bertanya.

"Nggak tau. Justru kita tanya sama Ayah. Ayah kenapa bisa mikir kayak gitu?"

"Like mother like daughter." Ayah menghela napas. "Bunda kalian juga suka seperti itu kalau sudah ngambek sama Ayah."

"Hm, kayaknya sih begitu, soalnya tadi Suri jalan sama cowok ganteng. Sumpah yah, ganteng abis. Tri aja kayaknya lewat. Coba ya kalau aku kenal sama cowoknya, mungkin dia udah aku orbitin jadi selebgram. Secara kan anak-anak muda jaman sekarang lihat yang ganteng dikit aja langsung histeris. Tapi jangan sampe sih dia jadi disk jokey atau ngeluarin album kayak aku. Nanti aku bisa kalah pamor. Hehehe." Chandra nyengir, membuat Ayah langsung geleng-geleng kepala.

"Ayah serius, Barachandra."

"Aku juga serius, Ayah."

"Ah, bocah gemblung!" Cetta berseru seraya menepak kepala Chandra keras-keras, lalu tanpa mempedulikan erang kesakitan Chandra, dia mengalihkan pandang pada Ayah. "Terus menurut Ayah kita harus gimana?"

"Bantuin Oriana baikan sama Sebastian?"

"NGGAK!"

Ayah menyipitkan mata. "Kalian itu kompak cuma pada situasi kayak gini, ya."

"Ayah, please, Ayah bisa suruh kita bolak-balik manjat tembok Cina tujuh kali, tapi jangan suruh kita bantuin Suri baikan sama titisan belalang sembah itu!" Calvin berseru penuh drama.

"Idih, apaan manjat tembok Cina tujuh kali? Lo aja kali, gue nggak." Chandra justru sewot.

"Perumpamaan, Kang."

"Kang?"

"Kependekan dari kukang."

"Sudah, sudah!" Ayah berusaha melerai sebelum perdebatan ketiga anaknya berubah jadi ajang saling ejek dan adu julukan nista. "Terserah mau kalian apa, tapi adik kalian nggak bisa terus-menerus dibiarkan kayak gitu. Dia sama kayak Bunda. Kalau sudah uring-uringan bisa tahan berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu. Mana kuat Ayah menghadapi anak bungsu Ayah yang lagi dalam mode Senggol-Bacok kayak gitu? Ngadepin kalian aja rasanya Ayah suka kepingin loncat dari Pancoran!"

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang