8. Pelindung

5.9K 545 82
                                    


"Kamu gak apa-apa?" Tangan Rafa sibuk mencari kalau-kalau ada luka di wajah Sheeva.

Sheeva memegang tangan Rafa menghentikan aktivitasnya. "Harusnya gua yang nanya. Lo gak apa-apa? Liat nih ada luka di bibir lo." Tangannya sekarang berpindah mengusap area wajah dekat sudut bibir Rafa yang terluka.

"Ah ini mah luka kecil. Anak cowok punya luka kayak gini mah biasa."

"Apanya yang biasa, lu kaya gini tuh gara-gara gue. Abis ini kita ke poliklinik ya?"

Rafa hanya mengangguk mengiyakan permintaan Sheeva. Sheeva membuka pintu kayu ruang rektor.

***

"Papa malu kalau orang-orang di kampus ini tau saya anak Papa?" Langkah Sheeva dan Rafa terhenti mendengar pernyataan yang terlontar dari bibir Byan.

Suasana di ruangan besar bernuansa cream kecoklatan dibalut keheningan. Semuanya diam, bahkan Byan tidak lagi melanjutkan ucapannya. Sedangkan Bagas bungkam tidak dapat menjawab apa-apa.

"Eh, ma-maaf saya lupa ketuk pintu," Sheeva celingukan gugup merasa timing yang tidak pas.

"Sudah silahkan masuk. Saya mau bicara dengan kalian bertiga," Bagas lalu duduk di shofa besar berwarna cokelat. "Kalian ini ada masalah apa sampai-sampai berkelahi di lingkungan kampus seperti tadi. Kalian bukan lagi anak SMA kelakuan tidak mencerminkan mahasiswa sama sekali."

"Udah saya bilang, si berengsek itu yang nonjok duluan."

"Gua gak akan mulai kalo lu ga nyentuh Sheeva ya."

"Emang lo siapanya tuh cewek ha? Pacar? Sok jadi pahlawan kesiangan lo, basi. Cih,"

"Makanya jangan jadi banci, beraninya ganggu cewek. Lawan gua sini."

"Brengsek, belum cukup?" Byan bergerak cepat menghampiri Rafa yang duduk di hadapannya dan menarik kerah kemeja Rafa. Seolah yang tadi belum cukup Byan berusaha ingin melanjutkan adegan baku tinjunya bersama Rafa di ronde ke dua dalam ruangan rektor.

"Hentikan!" Bagas lebih dulu menghadang Byan untuk melayangkan tinjunya. "Saya minta kalian ke sini bukan untuk melanjutkan perkelahian kalian. Masih jadi mahasiswa baru udah buat ulah ya?"

Bagas menghembuskan nafasnya kasar merapihkan jas hitamnya yang sedikit berantakan berusaha mencegah Byan membuat Rafa lebih babak belur. Walaupun kondisi Byan sama babak belurnya dengan Rafa. Setidaknya Byan tidak sampai harus mengeluarkan darah dari wajah tampannya.

Sheeva hanya bisa terdiam sambil meremas jari-jarinya kuat. Kebiasaan yang selalu Sheeva lakukan ketika dia merasa takut atau pun gugup. Belum ada satu bulan menjadi mahasiswa, Sheeva sudah mengalami banyak pengalaman baru yang dia sendiri tidak bayangkan.

Malang, kota yang dihuni oleh mayoritas penduduk asli Jawa, yang dia anggap lemah lembut seperti Rafa. Ternyata ada juga jenis manusia seperti Byan yang kelakuannya buat siapa pun menggeleng kepala.

"Kamu yang perempuan siapa namanya?"

Sheeva menunjuk wajahnya dengan jari, mengulang pertanyaan bahwa Bagas bertanya pada dirinya.

"Iya kamu. Emangnya ada berapa perempuan lagi di sini?"

Sekarang Rafa yang menjawab sambil menunjuk ke arah Byan. Mengatakan bahwa di ruangan ini ada perempuan lain selain Sheeva. "Dia tuh cewek, makanya beraninya lawan perempuan."

Pernyataan Rafa tentu memancing Byan untuk memberikan tatapan mematikan. Sudah pasti sekarang setelah Sheeva, Rafa adalah nama yang masuk daftar incaran Byan untuk dihabisi.

"Raf," tangan putih dengan jari lentik itu menghentikan Rafa untuk memancing emosi Byan lebih dalam lagi. Sheeva tau cowok itu lebih banyak tidak warasnya dari waras. Sheeva tidak ingin Rafa terancam. "Saya Sheeva, Pak."

Regret [Completed] ✔ [SUDAH TERBIT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt