22 - TERNYATA KIA

76 4 2
                                    

"Pak! Jangan ditutup dulu!"

Kirani baru turun dari angkot ketika melihat Pak Sukijan sedang menutup gerbang. Beberapa murid yang lain yang juga baru tiba, berteriak panik agar Pak Sukijan tidak menutup gerbang sebelum mereka masuk.

"Ckckck! Cepat! Cepat! Upacara sudah mau dimulai!" Satpam berkumis tebal itu mulai mengomel.

Kirani dan beberapa murid lainnya lekas berlari menuju lapangan upacara. Di sana, sudah terlihat para murid berbaris rapi sesuai dengan kelasnya masing-masing. Seluruh guru dan staf sekolah pun berbaris di koridor sekolah, berhadapan dengan barisan murid kelas dua belas. Murid-murid yang bertugas sebagai pelaksana upacara pun sedang melakukan persiapan.

Dari koridor utama, Kirani berbelok menyusuri koridor kelas dua belas. Barisan kelas sebelas membelakangi koridor tersebut. Nyaris menyusuri setengah koridor, Kirani masuk ke lapangan upacara. Buru-buru ia mengeluarkan topi abu-abu dari tasnya, lantas menitipkan benda berwarna merah itu pada seorang siswi anggota PMR yang Senin ini sedang bertugas.

"Ran? Elo masuk sekolah?"

Kia kebetulan berdiri di barisan paling belakang kelasnya. Bukan karena terlambat datang, tetapi karena ia sedikit lebih tinggi dari kebanyakan perempuan di kelasnya, juga karena ... yah, dia sedang malas berdiri di baris depan.

"Iya," Kirani menyahut setelah mengatur napasnya. Ia lantas mengenakan topinya, lalu menoleh ke arah Kia. "Emang kenapa?"

Kia tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan. "Ngga pa-pa. Gue pikir elo belum masuk sekolah. Kemarin kan keadaan lo belum begitu baik, Ran."

"Mending gue masuk sekolah, Ki," Kirani menyahut. "Daripada gue tinggal sendirian di rumah, yang ada ... gue malah kepikiran Kak Kirana terus."

Ya, Kirani merasa jauh lebih baik bagi dirinya jika hari ini ia berangkat ke sekolah. Setidaknya, di sini, pikirannya bisa teralihkan oleh penjelasan guru, obrolannya dengan Kia, atau candaan jayus dari Sam dan teman-teman lainnya.

Lagi pula, Kirani ingin melanjutkan pembicaraannya dengan Kia kemarin sore. Tentang rencana Kia ... yang akan membantu Kirani untuk bekerja paruh waktu di kafe milik Raka. Sekalian, untuk membantu Bang Anto yang katanya mau pulang kampung untuk reunian.

"Iya, sih," Kia membenarkan. Tidak lama, suara pemimpin upacara pun terdengar. "Udah mulai," lanjutnya. "Oh, ya, mau permen?"

Kirani mengambil permen dari tangan Kia. "Thanks!"

***

Salah satu hal yang paling menyenangkan di sekolah adalah ketika guru tidak masuk kelas. Apalagi, jika jam pelajarannya bertepatan setelah upacara atau jam olah raga. Dan Senin ini, kelas sebelas IPS A beruntung mendapatkan kesempatan itu.

Pak Mustafa, guru mata pelajaran kewarganegaraan, pagi ini tidak masuk lantaran sedang menghadiri acara keluarga. Namun sebenarnya, kelas IPS A tidak beruntung-beruntung amat karena Pak Mustafa menitipkan tugas merangkum materi bab tiga melalui guru konseling.

"Gue udah ngomong semalam sama Kak Raka," Kia memulai pembicaraan seraya mengeluarkan buku tulis dan buku cetak kewarganegaraannya dari dalam tas.

"Terus?" respons Kirani, baru menulis dua kalimat, tetapi ia berhenti karena ucapan Kia.

"Dia kayaknya masih ogah-ogahan gitu nerima lo."

"Oh, ya udah. Nanti gue ca—"

"Eh! Gue belum selesai ngomong, Ran!" potong Kia. "Kak Raka emang keliatan masih ogah-ogahan, tapi gue bakal bujuk Mamah buat nolongin lo."

"E-emang Kak Raka akan berubah pikiran kalo Mamahnya yang minta?"

"Biasnya sih, delapan puluh lima persen, iya." Kia tersenyum. "Jadi, lo tenang aja, oke? Gue bakal bantu elo dapet pekerjaan paruh waktu di kafe Kak Raka."

FROM THE PAST [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang