9 - BROTHER

96 7 1
                                    

Suara sendok yang beradu dengan permukaan piring, terdengar dari sebuah ruangan di Panti Asuhan Kasih Ibu. Sebuah meja yang menopang dua bakul nasi, satu mangkuk besar sayur lodeh, dan dua piring ikan goreng dikelilingi oleh enam orang yang duduk di kursi masing-masing. Tidak jauh dari meja, empat orang lainnya terlihat duduk di atas karpet, menonton televisi seraya menyantap makan malam.

Ada delapan orang anak yang tinggal di panti asuhan milik Ibu Lilis. Arka yang paling tua dan menjadi anak yang paling lama tinggal di panti. Meskipun sudah banyak orang tua yang menawarkan diri untuk mengasuh Arka—terakhir kali adalah tiga tahun lalu, pemuda itu tidak pernah mau meninggalkan panti dan Ibu Lilis. Tidak bermaksud untuk merepotkan wanita yang telah menyelamatkannya, hanya saja ... Arka tidak mau menjadi anak dari orang tua manapun—kecuali, orang tuanya.

"Ka?"

Makan malam sudah selesai. Ketika Tante Ayu menemani dan mengawasi tujuh orang bocah di ruang keluarga, Arka sibuk membantu Ibu Lilis membersihkan peralatan makan. Arka sudah terbiasa membantu Ibu Lilis dan Tante Ayu mengerjakan pekerjaan rumah sejak kecil.

"Iya, Bu?" Arka menyahut sembari membilas piring yang telah disabuni oleh Ibu Lilis.

"Tadi siang, Ibu lihat Arka pulang boncengan sama perempuan. Siapa? Pacar Arka, ya?"

"Bukan kok, Bu," Arka terdengar kikuk saat menyahut. Terlebih, Ibu Lilis menatapnya dengan tatapan jail.

"Yang benar? Anaknya cantik, lho, Ka. Selera Arka bagus."

"Bu," Arka menggumam dengan kedua pipi yang merah sebab menahan malu. "Dia bukan pacar Arka. Dia ... dia kakak kelas Arka di sekolah. Yang ngurusin anggota gerak jalan juga. Arka ngga ada hubungan apa-apa kok sama dia, Bu. Beneran!"

Tawa samar lolos dari mulut Bu Lilis. "Duh, Ka. Ibu cuma main-main. Serius banget nanggepinnya."

"Ibu, sih ..."

"Soalnya, sepanjang makan malam, Arka banyak diam. Eh, sebenarnya sejak pulang sekolah, sih. Arka tumben di kamar terus, ngga latian gerak jalan, ngga main sama adik-adik," urai Bu Lilis. "Arka lagi memikirkan sesuatu ya?"

Arka tidak langsung menjawab. Meski kedua tangannya masih sibuk membilas, tetapi matanya memandang kosong lubang di dasar bak cuci. Pemuda itu memang sedang memikirkan sesuatu, tentang sebuah kemungkinan bahwa ... Kirani adalah keluarganya.

"Ka?" Bu Lilis menyikut tangan Arka. "Kok diem?"

"Ah, itu ..." Sekali lagi Arka terjebak dalam sikap canggung. "Arka ... Arka memang sedang memikirkan sesuatu, Bu."

"Apa Ibu boleh tau?" Wanita empat puluh tahunan itu menatap pemuda di sebelahnya, sengaja menghentikan gerakan tangannya karena ingin menaruh perhatian penuh pada Arka.

Arka menarik masuk oksigen ke dalam tubuhnya, juga menghentikan kegiatannya sebelum berkata, "Bu, sepertinya ... Arka berhasil menemukan keluarga Arka."

Kedua mata Ibu Lilis membulat. "Kamu yakin, Nak?"

Arka menganggukkan kepalanya.

"Siapa?" Nada antusias jelas terdengar dalam pertanyaan Ibu Lilis. "Apa perempuan yang—"

"Bukan," potong Arka. "Temannya, Bu. Namanya Kirani."

"Bagaimana kamu bisa yakin kalau dia keluargamu?"

"Dia dan keluarganya juga korban tabrakan beruntun itu, Bu. Temennya tadi bilang, dia punya adik laki-laki yang sampai hari ini belum berhasil ditemukan polisi. Bisa jadi, kan, Bu, bisa jadi adiknya itu Arka?"

"Iya, tapi Arka harus cari tahu lebih banyak tentang Kirani dan keluarganya. Korban tabrakan beruntun waktu itu banyak, Ka. Banyak. Arka harus cari tahu untuk memastikan semuanya."

FROM THE PAST [SELESAI]Where stories live. Discover now