19 - KEPUTUSAN

67 6 1
                                    

Entah ini pagi keberapa yang tidak diinginkan kehadirannya oleh Kirani. Setelah semalaman mencoba menghidari Kirana, mau tak mau, pagi ini ia harus menghadapi kakaknya itu. Setelah mandi dan mengenakan seragam pramukanya, Kirani keluar dari kamarnya, lengkap dengan tas selempang berwarna merah yang senantiasa menemaninya ke sekolah.

Gadis itu lantas beranjak menuju dapur. Di sana, ia menemukan Kirana duduk menyantap roti dan segelas susu. Kirani langsung duduk di kursinya yang bisa, mengambil selembar roti dan mengolesinya dengan selai berwarna cokelat. Sepanjang sarapan, tidak ada obrolan yang tercipta di antara keduanya. Kirani berharap Kirana lupa tentang ucapannya kemarin siang.

Kirani telah selesai menyantap rotinya, pun telah meneguk segelas air untuk melegakan tenggorokannya, tetapi tidak ada tanda-tanda Kirana akan bersuara. Oke, mungkin Kirana sudah lupa. Oh, baguslah kalau begi—

"Jadi, gimana keputusan lo?" Kirana bertanya tepat di saat Kirani hendak beranjak meninggalkan kursinya.

Oh, sial! Rupanya Kirana sama sekali tidak lupa.

Kirani duduk perlahan sembari matanya menatap Kirana yang sama sekali tidak membalas tatapannya—malah sibuk memandangi ponsel di tangannya. Gadis itu tidak menjawab—entah mengulur waktu, entah menunggu Kirana memerhatikannya.

"Kenapa lo diam aja?" Kirana meletakkan ponselnya. "Lo mau tetap di sini atau ikut gue pindah dari sini?"

Dua pasang mata bulat nan indah milik Kirani dan Kirana saling beradu pandang. Namun detik berikutnya, Kirani memalingkan wajahnya, memutuskan kontak mata itu.

"Aku ..." Kirani menarik oksigen masuk ke tubuhnya, mengembuskan karbon dioksida melalui mulut bersama kata-kata, "tetap ingin tinggal di sini."

"Jadi, lo ngga mau ikut dengan gue?"

Kirani menundukkan kepalanya, mengangguk pelan.

"Oke, kalo itu udah jadi keputusan lo," ujar Kirana, terdengar acuh tak acuh. "Gue udah bayar sewa rumah ini selama satu tahun. Artinya, lo masih punya waktu beberapa bulan untuk tinggal di sini sambil nyari duit kalo lo mau memperpanjang sewa rumah ini," tambah Kirana. "Dan, seperti yang gue bilang kemarin, begitu kita hidup terpisah, kita benar-benar akan hidup sendiri-sendiri."

"Kak ...," Kirani menggumam. "Kenapa Kak Kirana harus pindah, sih, Kak? Kenapa harus menghindari Kak Raka? Kita udah hidup nyaman di sini, Kak. Kak Raka bahkan ngga pernah gangguin kita!" tanya Kirani, mencoba membujuk kakaknya.

"Lo ngga usah banyak omong, Rani! Itu udah keputusan gue. Gue mau pergi dari sini. Dalam beberapa hari ini, gue bakal pindah. Selama itu, gue harap elo juga siap-siap tinggal sendirian dan ngebiayain hidup lo sendiri."

Kirani menyeka air mata yang baru saja menetes dari pelupuk matanya. "Kak ... Kak Kirana mau pergi ke mana, memangnya?"

Yang ditanya malah berdiri dari duduknya. "Ke mana aja, selama Raka ngga ada di sana."

***

Kirani dan beberapa murid lainnya keluar dari angkot yang baru saja berhenti di depan gerbang SMA Harapan Bangsa. Gadis itu melangkah gontai dengan kepala menunduk. Keputusan Kirana yang tetap ingin pindah membuat banyak hal menghuni pikirannya. Apalagi, Kirana masih memberi Kirani kesempatan untuk berpikir ulang. Entahlah. Ada saat Kirani merasa ragu dengan keputusan yang telah diam—

"Eh! He-hey!"

Seseorang tahu-tahu menarik tangan kiri Kirani, membawa gadis itu menjauh dari jalur menuju koridor utama. Meski orang berjaket hitam yang menariknya itu tengah membelakanginya, tetapi Kirani tahu dia siapa.

"Dewa! Hey! Apa yang elo lakuin?" Kirani berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Dewa, pun menahan tubuhnya agar Dewa kesulitan menyeretnya ke suatu tempat. "Dewa, lepasin gue!"

FROM THE PAST [SELESAI]Onde histórias criam vida. Descubra agora