"Aku tidak akan menjelaskan dengan bahasa penuh kiasan seperti Nael. Meski aku tidak pernah tertarik ikut campur pada masalah antara malaikat, Sang Pencipta dan makhluk mortal. Meski aku juga tidak pernah peduli pada manusia. Tapi kamu adalah jiwa baik yang masih sangat muda. Aku tidak peduli jika kelak aku akan dapat hukuman karena terang-terangan membocorkan masalah dunia immortal dan berbicara pada makhluk mortal seperti sekarang. Kamu berhak tahu."

"Tahu apa?"

"Para malaikat marah karena tindakanmu."

"Emang aku ngapain? Ketemu malaikat aja belum pernah," Suri melotot. "Apa jangan-jangan karena kemarin-kemarin aku nggak sengaja make sikat giginya Abang Cetta buat ngambil koin dari lubang wastafel? Duh, maaf. Aku tahu Abang Cetta mirip malaikat, tapi dia seratus persen manusia, kok. Dan dia sayang sama aku. Pasti dia maafin aku hehe meskipun mungkin berasa agak nggak enak gitu ya pas sikat gigi. Tapi suer, aku nggak berniat buruk."

"Bukan itu."

"Terus apa?"

"Kamu membantu jiwa-jiwa yang tersesat menyelesaikan urusan mereka dan pergi ke atas. Itu menyalahi takdir."

"Hah? Tapi kan... kasian..."

"Dunia ini bukan dunia dongeng. Jika dunia ini menyenangkan, maka manusia tidak akan merasa perlu mencari Tuhan. Maka tidak akan ada keyakinan tentang hidup setelah mati. Jika dunia ini tak penuh dengan darah, air mata dan rasa sakit, manusia tidak akan membutuhkan surga. Justru, mereka ingin jadi immortal, agar bisa tinggal di dunia selamanya."

"Terus maksudnya kamu ngomong gini ke aku sekarang apa?"

"Kamu datang kesini untuk membantu jiwa yang tersesat itu."

"Ezra?"

"Buat kami, dia tidak punya nama."

Suri menghentakkan kakinya. "Dia punya nama. Dia pernah hidup. Namanya Ezra."

"Terserah."

"Kenapa dengan Ezra?"

"Jangan bantu dia. Kamu akan membuat para malaikat lebih marah lagi."

"Terus kalau malaikat marah, mereka akan ngapain?"

"Mereka akan menemui Sang Pencipta. Meminta pada-Nya agar menghukummu."

"Sang Pencipta itu siapa, sih? Tuhan? Dewa?"

"Makhluk mortal memberi banyak julukan pada-Nya. Tuhan. Dewa. Apapun sebutannya, jelas mengarah pada sesuatu yang sama." Zoei berkata. "Kami tidak pernah tahu bagaimana cara Sang Pencipta memutuskan, atau menghakimi. Sebab Dia adalah misteri, serupa dengan semesta yang telah Dia ciptakan."

"Aku mungkin nggak ngerti apa-apa soal dunia kamu. Atau tentang Sang Pencipta. Atau tentang malaikat. Tapi aku tahu, Sang Pencipta nggak akan menghukum seseorang karena berbuat baik."

"Kamu kira kamu berbuat baik?"

"Iya." Suri tersenyum. "Kamu sendiri tadi yang bilang, kan? Kita nggak tahu bagaimana cara Sang Pencipta menghakimi. Karena itu, aku mau ngikutin suara hati aku aja. Hati aku bilang ini benar buat dilakukan. Jadi aku nggak peduli."

"Kamu benar-benar keras kepala."

Suri nyengir. "Bukan cuma kamu yang pernah bilang gitu."

"Jadi kamu akan tetap membantu jiwa yang tersesat itu?"

"Namanya Ezra!"

Zoei menyerah. "Iya. Maksudku, kamu akan tetap membantu Ezra?"

Suri mengangguk. "Aku udah janji. Aku mungkin hobi bohong. Atau diam-diam ngabisin yoghurtnya Abang Calvin. Atau nyoret-nyoret mukanya Abang Chandra waktu lagi tidur pakai liptint. Tapi aku nggak pernah mengingkari janji yang udah aku buat."

NOIRWhere stories live. Discover now