Karena itu, kini tujuan pertama mereka setelah sekian lama tidak sempat mengunjungi Dufan adalah rumah cermin. Sebetulnya, tidak ada yang istimewa dari tempat itu. Seperti namanya, rumah cermin adalah bangunan rumah mungil yang penuh dengan cermin. Berada di dalamnya terasa pusing dan cukup mengecoh, terutama jika ingin menemukan jalan keluar. Tetapi Rana dan Cetta tidak masuk kesana hanya untuk keluar lagi dalam waktu singkat, atau bersaing menemukan satu sama lain.

Mereka justru sibuk berdiri di depan deretan cermin-cermin yang ditata sedemikian rupa. Bayangan keduanya terpantul, menciptakan ilusi seolah sosok mereka dilipatgandakan.

"Kenapa senyum-senyum?" Cetta berujar, berdiri bergandengan dengan Rana di depan deretan cermin tanpa mempedulikan riuh-rendah bisik-bisik beberapa gadis remaja yang ada di sekitar mereka. Mudah menebak mengapa gadis remaja itu sibuk bisik-bisik. Mereka pasti mengenali Cetta, tapi terlalu malu untuk menyapa.

"Karena kamu ganteng."

Cetta tersenyum. "Kamu juga cantik. Punyanya aku."

"Kamu ada banyak."

"Hm? Maksud kamu?"

Rana menunjuk pada sejumlah cermin yang memantulkan bayangan Cetta. "Ada kamu disitu. Disitu juga. Dan disitu. Disitu. Banyak banget. Aku jadi bingung."

"Kenapa bingung?"

"Bingung mau sayang sama yang mana."

Cetta tertawa kecil. Rana selalu punya cara tidak terduga membuatnya merssa geli. "Pilih dong."

"Ini juga mau pilih." Rana berlagak berpikir sebentar. "Aku sayang semuanya, tapi aku paling sayang sama yang..."

"Yang mana?"

Rana menoleh, tersenyum nakal pada Cetta. "Paling sayang sama yang bisa cium aku."

"Kayak gini?" Cetta membungkuk, mengecup sekilas pipi Rana. Lalu senyumnya melebar, hingga deretan giginya terlihat.

"Iya, kayak gitu." Rana tertawa, lalu memeluk Cetta sejenak. "Paling sayang sama yang ini."

Dan sesaat, walau hanya sesaat, dunia seperti jadi milik mereka berdua.

n  o  i  r

Siena bukan gadis yang suka berada di luar ruangan. Dia tidak suka berada di bawah sinar matahari atau keramaian terlalu lama. Siena akan lebih memilih berdiam di kamarnya yang nyaman, lalu memetik senar gitarnya atau mengulang hapalan rumus kimia untuk ulangan minggu depan. Dufan bukan tempat yang menurutny menarik untuk dikunjungi. Karenanya, kini dia tidak menyangka bagaimana dia merasa senang menikmati wahana yang tersedia. Bahkan masalah sepele seperti berdiri mengantre giliran sambil menenggak es teh saja bisa terasa sangat menyenangkan. Entah itu karena dia diam-diam tidak sebenci itu pada luar ruangan, atau karena keberadaan Chandra.

Siena curiga, penyebab sebetulnya adalah alasan yang kedua.

"Udah check in Path?" Chandra bertanya ketika mereka mengantre pada wahana Niagara-gara. Cowok itu sengaja membiarkan Siena berada di depannya, karena katanya Siena pakai rok pendek. Siena tidak mengerti apa hubungannya, tetapi dia menyukai tindakan Chandra. Chandra terkesan seperti melindunginya.

"Iya, kak?"

"Udah check in Path? Kamu punya Path, kan?"

"Harus ya, Kak?"

"Iya, biar seluruh dunia tau kalau kamu lagi di Dufan," Chandra menyunggingkan senyum sok polosnya yang mempesona. "... sama aku."

Pipi Siena seketika merona, lantas dia merogoh ponsel. "Aku harus ngetik apa?"

NOIRWhere stories live. Discover now