Itu wajar, kan?

Ah, gila. Apa yang sedang dia pikirkan? Sebastian menolehkan kepala untuk menatap pada pintu kamar mandi yang tertutup. Ada suara air mengalir dari dalam sana, disusul senandung samar Sergio dan suaranya menyikat gigi.

Oke, Sebastian. Tarik napas. Hantu Sarah tidak semenyeramkan itu.

Sebastian mencoba menganggap Sarah sebagai adiknya, namun usahanya gagal. Dia masih sangat kecil ketika Sarah meninggal. Dia tidak pernah benar-benar merasakan perbedaan dalam hidupnya saat Sarah masih ada, atau setelah anak perempuan itu meninggal. Dia tidak mengenal Sarah sama sekali, kecuali lewat memori samarnya kala berusia tiga tahun yang bisa dihitung dengan jari. Buatnya, Sarah adalah orang asing. Hantu yang tidak dia kenal. Dan pikiran itu mampu mendirikan bulu kuduknya.

Sebastian berdecak, lalu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tidak-tidak. Dia tidak boleh berpikir negatif. Urusan Suri dengan hantu Sarah akan selesai hari ini juga, dan voila! dia bisa kembali ke kamar tidurnya tanpa harus berebut selimut dengan Sergio setiap malam. Sekarang, yang perlu dia lakukan hanya memastikan ulang sesuatu. Maka, tangannya pun meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur. Tangannya mengetik sebentar, lalu mengirimkan pesan tersebut untuk orang tuanya.

To : Mami

Pesawat Mami-Papi landing jam berapa? Mau aku jemput?

n  o  i  r

Lagi dan lagi, Rana datang ke rumahnya tanpa Cetta duga. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi ketika bel pintu depan dipijit bertubi-tubi. Cetta yang sedang sibuk menyikat gigi harus bergerak tergopoh-gopoh menuju pintu depan, karena dua saudaranya yang lain tidak bisa diharapkan. Chandra masih tepar di atas tempat tidur karena baru pulang jam empat pagi setelah beraksi di sebuah tempat dugem ibukota, sementara Calvin juga tengah asyik ngorok karena menghabiskan sepanjang malam hanya untuk menyetel ulang serial The Rugrats dan Hey, Arnold kesukaannya. Suri? Paling juga masih tidur. Saat libur begini, tidak peduli sesore apapun gadis itu jatuh terlelap, dia baru akan terbangun lewat dari jam sembilan pagi.

"Ya ampun, Dimi!" Rana melotot ketika melihat bagaimana wajah Cetta terlihat setelah pintu dibuka. Cowok itu masih menjepit kepala sikat gigi di mulutnya. Ada busa yang terlihat di sudut bibirnya. Rambutnya berantakan, dengan mata yang sayu khas orang baru bangun tidur.

Cetta berujar tidak jelas, yang menurut Rana terdengar seperti tunggu sebentar, sebelum berbalik dan kembali berlari ke dalam. Alis Rana mengerut, namun gadis itu tidak menahan gerakan Cetta. Dia berjalan ke ruang tengah setelah sebelumnya menutup pintu depan. Ruangan itu sepi. Sangat mudah bagi Rana menebak kalau tiga saudara Cetta yang lain masih berenang di alam mimpi.

"Kamu kok nggak bilang kalau mau dateng?" Tidak lama kemudian, Cetta keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan wajahnya dengan handuk. Rambutnya sudah disisir hingga terlihat lebih rapi, dan aroma mint yang khas dari pasta gigi melekat pada udara di sekelilingnya. Dari semua versi Dimitrio Gilicetta yang pernah dilihat Rana, versi baru bangun tidur adalah favoritnya. Cetta hanya Cetta. Apa adanya, tanpa pakaian rapi yang membuatnya terlihat seperti model rumah mode ternama. Cetta yang manusiawi selalu mampu melelehkan hati Rana.

"Karena aku memang nggak niat datang."

"Lah, terus?"

Rana menyodorkan kantung plastik hitam yang sejak tadi dibawanya. "Kamu inget Om Satrio?"

"Om kamu yang kerja di salah satu industri makanan itu?"

Rana mengangguk. "Semalem dia baru main ke rumah. Ngobrol sama Papa. Terus pas pulang, dia ninggalin banyak indomi dan superbubur. Karena aku suka indomi, jadi indominya aku simpan buat aku. Daripada mubazir, superbuburnya aku kasih aja buat kamu."

NOIRWhere stories live. Discover now