"Dia ngebentak kamu, Suri. Abang nggak bisa biarin siapapun ngebentak kamu." Calvin membela diri, sementara Sebastian mencebikkan bibir, balas mengejek tanpa suara yang membuat Calvin lagi-lagi tak bisa menahan diri untuk melotot padanya.

"Yaudah. Aku ke dapur dulu sebentar. Kayaknya hantunya masih ada disana," Suri berujar seraya menurunkan tasnya dari bahu, meletakkan tas tersebut ke atas sofa, lantas melangkah menuju dapur rumah Sebastian tanpa peduli pada tatapan tiga pasang mata yang terus saja melekat di punggungnya.

"Hantu di rumah lo..." Calvin berujat tidak yakin setelah sosok Suri benar-benar tidak terlihat lagi. "... dia nggak berbahaya, kan?"

"Lo lihat kantung mata gue nggak? Menurut lo, hantu itu berbahaya apa nggak?" Sebastian balik bertanya dengan sarkastik.

"Kalau gitu kenapa lo pada ngebiarin Suri sendirian kesana?!"

Sebastian dan Sergio berpandangan.

"Hng... karena..." Sebastian memutar otak, mencari alasan. "karena hantunya perempuan!"

"Yaelah, apa hubungannya?"

"Perempuan tuh lebih nyaman curhat ke sesama perempuan. Jadi sebaiknya jangan diganggu. Kalau hantunya malah jadi marah karena kita ikut-ikutan gimana?"

"Alasan macam apa itu?"

"Terserah lo, sih," Sebastian memungut selimutnya yang tergeletak di atas karpet, lantas kembali merebahkan tubuh di sofa. "kalau lo mau kesana, yaudah kesana aja."

Calvin menghela napas. Dia tidak takut pada hantu—setidaknya, tak seperti Sebastian yang wajahnya langsung memucat setiap kali ada yang menyinggung tentang alam tak kasat mata di depannya. Namun membayangkan berada pada jarak dekat dengan makhluk yang kehadirannya disangkal oleh sains membuat cowok itu merasa tidak nyaman. Calvin tidak pernah memandang Suri aneh karena punya kemampuan melihat apa yang tidak bisa semua orang lihat, tapi dia juga bukan penggemar hal-hal yang seperti itu.

Menyerah, Calvin akhirnya berhenti berdebat dan memilih duduk di sebelah Sergio.

n  o  i  r

Dia masih sama seperti kemarin saat pertama kali Suri melihatnya. Sosoknya masih duduk di lantai, memainkan pintu dalam gerak lambat sehingga pintu tersebut tampak seperti tengah diembus oleh angin. Suri menghentikan langkah sejenak, sempat menatap sosok itu dengan ragu. Jika saja matanya tak tampak seperti rongga dan wajahnya tidak semuram itu, dia akan jadi bocah perempuan yang sangat lucu. Biasanya, jika bertemu dengan hantu pendiam yang sendu dan menyeramkan semacam itu, Suri akan langsung menjauh. Namun tentu saja kini dia tidak bisa melakukannya. Sergio butuh bantuannya—dan entah kenapa, Suri juga berpikir kalau makhluk itu pun butuh bantuannya.

Suri berjalan mendekat dengan perlahan, lalu berhenti dan berjongkok di dekat sosok tersebut. Tangannya terulur, membuat bocah asing itu menolehkan kepala. Wajahnya pucat, dan rongga matanya serupa blackhole yang mampu membangkitkan setiap jengkal rasa ngeri di tubuh Suri.

"Kamu... siapa?"

Sosok itu tidak menjawab, tapi dia berhenti menggerakkan pintu.

"Kamu... bisa ngomong?"

Sosok itu diam sebentar, lantas dia menggeleng perlahan.

"Oh, begitu." Suri menghela napas. "Kamu udah lama ada disini?"

Ragu sejenak, sosok itu mengangguk pelan.

"Kalau gitu, kenapa kemarin kamu ngegangguin Gio dan Tian? Kamu benci mereka? Atau mereka bikin salah sama kamu?"

NOIRWhere stories live. Discover now