"Tumben amat pagi-pagi udah berdoa."

"Ngapain lo disini?" Suri berbisik, berusaha keras terlihat normal karena koridor yang mulai ramai oleh lalu-lalang siswa.

"Lagi jalan-jalan aja," Asmi membalas santai. "Terus nggak sengaja melihat Chandra. Buset, pagi-pagi sudah ganteng pisan, euy. Sayang banget di dunia hantu nggak ada yang seganteng dia."

"Tolong. Kalian makhluk beda alam jangan keganjenan sama abang-abang gue."

"Cinta beda agama saja bisa lanjut, masa cinta beda alam nggak bisa?"

Suri mengepalkan tangan, berbisik berkali-kali dalam hati agar bersabar. Dia tidak bisa mulai memaki Asmi di koridor, karena itu sama saja menawarkan dirinya jadi tontonan gratis di pagi hari. Suri tidak sedang berminat jadi sarana hiburan cuma-cuma.

"Terserah." Suri berujar kesal, kemudian meneruskan langkah kakinya dengan cepat, menembus tubuh Asmi yang langsung tercengang di tempatnya berdiri—eh, melayang maksudnya.

***

"Jadi kalian ini wali dari Oriana Suri Laksita?"

"Kakak-kakaknya, Bu," Calvin mengoreksi dengan sopan sementara guru perempuan itu memperhatikan mereka dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. "Kebetulan Ayah saya berhalangan hadir, jadi kami yang mewakili untuk menemui Bu Asturo terkait masalah ulangan harian susulan untuk Suri."

"Oh, iya, iya, saya mengerti," Bu Asturo mendadak merasa gugup ketika ditatap begitu lekat oleh tiga cowok yang berdiri di depannya. Pertama, mereka menjulang seperti tiang listrik hingga Bu Asturo merasa begitu kecil. Kedua, mendadak dia menyesal tidak terlahir di jaman yang sama dengan ketiga cowok itu. Seandainya saja dia masih muda dan berapi-api, tentu dia tidak akan segan-segan melemparkan dirinya untuk dipilih oleh salah satu dari mereka. Ketiga, masing-masing dari mereka membawa bunga, dan itu membuat Bu Asturo merasa penasaran. Sejenak, masalahnya antara Suri mendadak terlupakan. "lebih baik kita pindah ke ruang tamu saja, biar bicaranya lebih enak."

Ucapan Bu Asturo membuat Chandra, Calvin dan Cetta berpandangan heran, meski akhirnya mereka menurut. Sesaat kemudian, mereka berpindah pada ruangan yang dimaksud Bu Asturo. Ruangan itu berada di sisi pendopo sekolah, cukup luas dengan satu set sofa dan pendingin udara yang membuat ruangan terasa nyaman. Di dinding, berbagai pigura yang memuat perjalanan bangunan sekolah dari waktu ke waktu terpampang berderet. Ada satu lemari kaca berukuran sedang yang dipenuhi banyak piala, serta vas dengan setangkai bunga segar yang berada di tengah meja.

"Biasanya, ruangan ini dipakai oleh kepala sekolah untuk menerima tamu kehormatan," Bu Asturo menyunggingkan senyum termanisnya pada ketiga cowok itu. "Tapi buat saya, pagi ini kalian adalah tamu kehormatan saya."

Chandra tersenyum puas, seolah reaksi Bu Asturo sesuai dengan apa yang semula dia bayangkan, sementara Cetta dan Calvin bersusah-payah menahan tawa.

"Jadi kemarin, Suri itu tidak masuk karena—"

Bu Asturo mendadak memutus ucapan Cetta. "Saya sudah tahu. Keluarga kalian harus menghadiri acara keluarga yang diadakan di Bandung, namun karena kalian bertiga sangat sibuk, kalian lupa membuat surat untuk dikirimkan ke sekolah. Betul kan?"

"Acara keluarga ap—adaw!" sebelum Calvin bisa melengkapi pertanyaannya, Chandra telah lebih dulu membungkam mulut cowok itu dengan satu cubitan tipis nan menyakitkan di paha.

"Ada apa, Nak Calvin?"

"Hng, nggak apa-apa, Bu," Calvin menyahut dengan senyum pahit yang terkesan dipaksakan, lalu menatap sebentar pada Chandra yang intinya menyiratkan jika Chandra akan membayar semua kelakuannya kelak setelah mereka meninggalkan ruangan itu.

NOIRWhere stories live. Discover now