"Pacaran mulu lo sama buku!" seru Chandra dengan nada mengejek.

"Seenggaknya buku nggak akan hamil." Adalah yang jawaban Calvin yang terdengar sebelum ditutup oleh suara keras bantingan pintu. Chandra tercengang sebentar, namun kemudian langsung terkekeh samar.

"Gila, tuh pintu kayaknya lebih tahan banting daripada hati lo, Ta."

"Maksud lo?"

"Iya. Hati lo yang setiap hari tertindas karena menghadapi Rana." Chandra masih mengejek, kali ini dengan membawa nama gadis yang telah Cetta pacari selama setahun tiga bulan belakangan.

"Bacot!" Cetta berseru sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, kemudian beranjak dan masuk ke kamarnya sendiri dengan cara yang hampir serupa dengan Calvin—alias sama-sama diakhiri oleh bantingan pintu.

"Dasar adik-adik kurang ajar," Chandra bergumam sebelum kembali sibuk dengan deretan akun sosial medianya. "Mereka nggak tau kalau harga kusen pintu sekarang itu lagi mahal-mahalnya."

***

"Kakak-kakak lo emang selalu seribut itu, ya?" Kesha tidak bisa menahan diri untuk bertanya setelah dia mendengar suara bantingan pintu untuk yang kedua kalinya. Pertanyaannya otomatis membuat Suri berhenti memainkan ponsel dan mengangkat wajah untuk menatap padanya. Suri menarik napas sejenak. Bukan, bukan karena dia frustrasi akibat ulah kekanakan ketiga kakaknya, melainkan karena bagaimana Kesha terlihat luar biasa menawan bahkan setelah berstatus sebagai orang mati. Dia memang pucat, namun bukan pucat dalam artian buruk. Hanya dengan satu sentuhan perona pipi dan bibir, Kesha mungkin bisa memenangkan kontes Miss Universe di dunia mereka yang tidak kasat mata.

"Kakak-kakak gue itu cuma penampilan luarnya doang yang beres. Dalamnya mah onderdil rusak semua."

Di luar dugaan, Kesha tertawa. "Lo lucu."

"Gue sudah sering dengar itu selama delapan belas tahun gue hidup," Suri menyahut. "Suri cantik banget. Suri lucu banget. Suri imut banget. Duh, udah bosen deh dengernya."

"Oh. Pantesan kakak-kakak lo kayak gitu. Adiknya aja kayak gini. Apa jangan-jangan udah keturunan." Kesha bermuka masam.

"Keturunan kece? Emang!"

"Gue nyerah deh kalau emang harus debat sama lo."

Suri tertawa, memilih berhenti memainkan ponsel dan menatap lebih lekat pada Kesha. "Soal Sergio Dawala, gue boleh nanya nggak?"

"Nanya apa?"

"Dia suka cewek yang kayak gimana?"

Kesha menyentakkan kepala. "Kayaknya gue salah minta tolong sama orang."

"Jangan pelit, dong! Kan lo udah nggak satu alam lagi sama Sergio! Bagi-bagi dikit kek sama gue yang selama delapan belas tahun ini tidak pernah merasakan kasih sayang dari makhluk bernama laki-laki!"

"Lah, emang bokap dan abang-abang lo bukan laki-laki?"

"Duh, beda dong! Lo boleh aja cantik, tapi ternyata agak tulalit. Dikit."

Kesha memberengut. "Sebenernya disini yang bodoh itu lo atau gue?"

"Lo."

Kesha berusaha menyabarkan diri. Kalau saja dia tidak butuh bantuan cewek bernama Suri ini, dia mungkin sudah melayang pergi dari rumah itu sejak tadi. Bagaimana tidak? Seluruh penghuni rumah itu punya otak yang tidak waras. Bahkan sampai ke hantu penunggunya sekalipun tidak bisa dikategorikan normal. Well, Kesha tidak tahu apa indikator untuk menyebut hantu normal atau tidak berhubung dia baru seminggu jadi hantu, tapi di belahan dunia mana ada hantu yang punya hobi mengintipi manusia mandi—hampir setiap hari?!

NOIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang