19. The Reason

Mulai dari awal
                                    

Alvero

temui gue pulang sekolah, penting 

Lalu Rena menyimpan ponselnya di saku seragam tanpa menunggu balasan dari Raga. Ia melangkah mendekati Adnan yang duduk sambil memainkan ponselnya.

"Nan, yuk," Adnan mendongak, tersenyum lalu mematikan ponselnya dan menyimpan di saku celana abu-abu yang ia pakai.

Keduanya berjalan bersisian menuju kelas. Rena tadi dipanggil menuju ruang kepala sekolah, dan Rena sudah bisa menebak apa yang akan dibahas di sana. Dengan keinginan sendiri, Adnan menemani dan menunggu Rena menemui kepala sekolah.

"Ada masalah apa? Cerita dong," ucap Adnan kepada Rena yang saat ini memusatkan pandangannya pada lapangan basket. Bukan, pandangannya terhenti pada satu titik.

"Na," Adnan memanggilnya, merasa tidak dihiraukan, Adnan mengikuti arah pandang Rena. Cowok itu menghela napas kasar, lalu menggenggam tangan Rena, membawa cewek itu berjalan kembali sekaligus menyadarkan Rena dari lamunannya tadi.

Rena mengerjap. "Eh, iya Nan, kenapa?" Cewek itu menggigit daging dalam bibirnya.

Adnan masih menggenggamnya saat sudah tiba di kelas. Cowok itu menarik kursi, menyuruh Rena duduk di sana. Lalu disusul olehnya yang duduk di hadapan cewek yang sudah resmi menjadi pacarnya kemarin.

"Nggak, Bu Silvia ngomong apa sama kamu?" tanya Adnan, melupakan kejadian kecil tadi.

Rena melirik ke arah genggaman tangan Adnan, dan tersenyum samar. "Bu Silvia minta aku supaya benar-benar mengajari Raga. Nilai dia sama sekali nggak berubah. Dan aku sudah diamanahi. Kamu nggak masalah kan dengan ini?"

Adnan mengalihkan pandangan, menghirup oksigen, lalu mengangguk bersamaan bola matanya yang kini menatap Rena teduh. "Nggak papa. Tapi kamu jangan terlalu dekat ya, aku cemburu." Adnan tersenyum jahil. Namun, kata itu jujur dari dalam hatinya.

Rena terkekeh geli. "Aku sudah punya kamu, Nan. Ngapain aku dekat dengan cowok lain lagi? Kamu saja sudah cukup kok."

Adnan hanya tersenyum.

  ♣️♣️♣️

Raga meneguk air mineralnya, membiarkan air segar itu mengalir mulus di tenggorokannya.

"Anak itu berduaan mulu, mentang-mentang udah jadian, nempel kayak perangko." Suara Leon mengintrupsi Raga. Cowok itu melempar botol kosong ke arah tong sampah, tidak masuk, dan Raga tidak mempermasalahkan itu. Biarkan saja.

Mata Raga memicing, menatap arah pandang Leon. Di sana, di sebrang lapangan, di koridor kelas 10, Adnan berjalan bersama Rena. Cowok itu mendengus.

"Gue udah feeling sih sama si Adnan, dia ada rasa sama cewek itu." Lalu, matanya bertabrakan dengan retina mata coklat Rena dari jarak yang cukup jauh. Raga mengangkat alisnya, cowok itu menyugar rambutnya yang basah akan keringat, lalu membuang pandangan dari Rena setelah cewek itu dibawa pergi oleh Adnan.

"Tapi lo mikir nggak sih Ga, kalo misalnya Adnan itu nembak Rena karena dia mirip Caca.  Kita tahu banget gimana Adnan pas Caca meninggal," ujar Leon membuat Raga termenung.

Caca. Satu nama yang tidak pernah ia dengar lagi. Satu nama yang sudah ia kubur dalam-dalam, kini kembali terdengar. Raga menghela napas panjang.

"Gue juga mikir gitu, Yon. Tapi gue sih nggak urus, itu masalah dia. Btw, gue tadi liat lo sama Gracia berangkat bareng, tumben lo nggak sama Mala?" tanya Raga sambil memegang bola basket. Ia duduk selonjoran di lapangan. Padahal bel masuk sudah berbunyi.

"Lagi pengen bareng Gracia. Lagian juga Mala sama Bayu kan? Gue lihat mereka tadi. So, fine-fine aja."

Raga mengangguk. "Masih jam kosong kan? Cabut yuk, gabut gue." Raga bangkit, mengambil tasnya sambil menggendong bola basket.

Leon menyetujui ide cowok itu. Mereka berdua berjalan menuju parkiran motor. Bersama-sama meninggalkan sekolah.

Bahkan, Raga sama sekali tidak mengetahui ada pesan masuk dari Rena yang memintanya untuk menemui cewek itu.

  ♣️♣️♣️♣️

Jangan lupa votes dan comments yaa!💙

Shoplifting HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang