"Apa yang kau baca?" Reyno merebahkan tubuhnya di atas sofa dan  melirik salah satu buku yang kusisakan di meja.

"Oh ... aku tahu buku itu." Ia tersenyum aneh, sambil melirik ke arahku.

"A-aku hanya penasaran terusan ceritanya. Film keduanya baru keluar tahun depan. Itu juga mungkin hanya bisa ditonton secara online. Rasanya tanggung jika aku tidak membacanya sampai selesai. Buku ini bahkan tidak terbit di sini." Reyno kali ini benar-benar tertawa lebar, ia sampai menutup mulutnya.

"Hei ... ini tidak seperti yang kau pikirkan!" aku buru-buru menyela pikiran buruknya yang entah apa.

"Yah, yah ... aku bisa maklum. Tak kusangka ternyata wanita juga menyukai hal-hal seperti itu ya? termasuk kamu." Ia kembali tertawa.

"Memangnya tidak boleh? ah, kau ini menyebalkan!" Kali ini aku salah. Ia ternyata tetap saja membuatku kesal.

Kulewati Reyno dan beranjak pergi meninggalkannya. Tapi sialnya Reyno tak membiarkan itu terjadi. Ia sengaja menarik sebelah tanganku dan berhasil membuatku terjatuh ke belakang, dan terduduk tepat di pangkuannya.

"Eh! apa yang kau ..." aku mendapati Reyno yang tersenyum menyapa aku terduduk di pahanya, tangannya tanpa sungkan langsung melingkari pinggangku dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahuku.

"Sudah, jangan marah-marah terus ya." Ujarnya santai di samping telingaku. Aliran darahku mendadak berdesir.

Bagaimana bisa marah dengan posisi seperti ini? jantungku saja rasanya ingin melompat keluar!

"Aku tidak marah kok. Cuma kesal." Jawabku sambil mendengus. Reyno mempererat rangkulannya.

"Iya, maaf." Ucapnya lagi sambil kali ini mengecup leherku. "Kau harum ..."

Aku menggigit bibir menahan perlakuannya.

"Rey ..." Dadaku mendadak sesak.

"Hmm ...?" Reyno masih tak melepas leherku.

"Mhh ... apa ... kau sudah lapar?" secepat kilat aku beringsut dari bibirnya, menoleh ke arahnya dan menjauhi leherku sebisa mungkin.

Ekspresi Reyno tampak agak bingung. Aku sebenarnya reflek. Karena aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi bila ia tidak berhenti. Novel tadi sudah hampir meracuniku otakku.

"Hmm ... lumayan, kau sudah lapar?" tanyanya balik, dan aku dengan cepat mengangguk sambil tersenyum.

"A-aku sempat melihat daftar menu di meja itu." Kataku sambil menunjuk ke arah meja bar, dan buru-buru beranjak bangun dari pangkuannya. Aku juga sengaja melakukan itu. Karena berada di pangkuannya membuat perasaanku semakin aneh.

Reyno tersenyum kecil. Ia sebenarnya menyadari tingkah kekasihnya. Bahkan sebenarnya itulah yang membuat ia semakin menginginkan wanita itu.

***

"Enak?" Reyno bertanya di sela suapan kelimaku.

"Enak banget!" aku menjawab ceria sambil mengunyah.

"Kau ini kurus-kurus doyan makan." Reyno terkekeh sambil menyesap kopinya.

"Coba nih." Aku spontan menyodorkan garpu yang sudah tertancap potongan daging di ujungnya. Reyno sempat tersenyum sebelum akhirnya membuka mulut menyambut suapanku.

"Lumayan." Ujarnya sambil mengusap bibirnya dengan tisu. Aku meliriknya sambil tersenyum. Entah kenapa rasanya senang.

***

Pada akhirnya aku menyelesaikan makanan itu 20 menit lebih lama, sedangkan Reyno yang hanya memesan soup dan kopi, hanya perlu waktu tak lebih dari 10 menit. Ia lebih memilih menghabiskan sisa waktunya dengan tersenyum dan memandang aku yang makan dengan lahap, mungkin ini yang membuat makanan itu semakin tak terasa di tengah-tengah.

Aku baru mengusap bibirku dengan tisu dan menyesap minumanku sebelum akhirnya menyadari, Reyno tengah memandangku dengan serius.

"Annora ..." Panggilnya tiba-tiba.

"Ya?" aku balas menatapnya.

"Kau masih ingat yang tadi ingin kubicarakan?" Reyno menunggu dan menghela.

"I-iya, memangnya apa yang ingin kau bicarakan?" Aku perlahan memangku wajah penasaran.

"Annora ..." Ia kembali menghela, dan menatapku dalam. Aku kembali menangkap kesenduan di matanya.

"Kali ini kau harus yakin dan percaya padaku." Wajahnya berubah serius lagi.

"I-iya ..." Entah kenapa perasaanku mendadak aneh.

Aku ingat kata-kata ini ketika ia tak melepas genggamannya saat itu, dan aku ingat apa yang di katakan Vivian padaku. Jantungku mendadak berdetak cepat.

"Ck! aku tak yakin kau ingin mendengarnya." Wajah Reyno seketika berubah resah. Ia mulai mengalihkan pandangannya.

"Rey ... " Aku menatapnya ragu. Aku tak tahu kenapa perasaanku semakin tidak enak, tapi aku benar-benar penasaran. "Aku ... ingin mendengarnya ..."

Reyno tersenyum tipis. Tapi aku tahu kali ini dipaksakan. Ia lagi-lagi menghela seolah sesuatu itu begitu berat untuk diutarakan.

"Annora ... " Matanya kini lurus menatapku. Untuk ketiga kalinya ia memanggil namaku.

"Aku punya tunangan." Sambungnya lagi dan mataku langsung terbelalak.

***

JUST ONE BELIEVE (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang