Aku mengambil salah satunya, dan membuka dengan tidak sabar. Wajahku berseri-seri ketika membaca bagian prolog. Rasanya tak percaya buku ini ada di hadapanku sekarang. Bahkan sebenarnya perlu menunggu beberapa bulan lagi untuk bisa membaca buku ini. Ah, aku tak tahu lagi apa yang bisa menggambarkan perasaanku sekarang.

Sambil masih tersenyum aku merebahkan diri di atas sofa, dan mengambil posisi duduk senyaman mungkin.

Mudah-mudahan dia tidak buru-buru datang, pikirku sambil terkikik, dan membuka halaman selanjutnya.

***

Dua jam berlalu, dan kini sudah buku yang ketiga. Aku sempat menghela resah dan lama memandang cover buku itu. Sebenarnya aku tidak ingin buru-buru menyelesaikannya, jilid ketiga ini adalah yang terakhir dan aku ingin membacanya pelan-pelan.

Aku mendengus ketika melirik 27 buku lagi yang masih menunggu dan rasanya mustahil untuk kuselesaikan. Tapi mau tak mau akhirnya buku-buku itu kukembalikan lagi ke tempat asalnya, dan menyisakan satu buku terakhir yang masih kubaca.

"Ahh ... sayang sekali ..." Gerutuku sambil menggigit bibir, menatap rak besar di hadapanku.

"Apanya yang sayang?" tanya suara di belakangku tiba-tiba.

"Eh! aduh!" aku hampir terjatuh menyenggol rak besar itu karena kaget. Tapi Reyno dengan sigap langsung menangkap tubuhku, dan menarik ke arahnya.

"Hei, be careful." Ia terkekeh seperti biasa. Kulihat pakaiannya yang masih lengkap dengan jas dan sepatu pantovel hitam.

"Kapan kau datang? kau sudah seperti hantu. Aku sama sekali tidak mendengar apapun." Protesku di pelukannya.

"Bukan salahku jika pintu itu terbuka tanpa suara, juga karpet ini, lagipula kau juga tampak serius sekali sampai tidak sempat melihat ke arah lain." Reyno balas menatapku sambil tersenyum jahil.

"Yah, kau benar." Seperti biasa, aku selalu tak bisa menyangkal. Sambil menghela kualihkan pandanganku dari wajahnya. Tatapannya selalu berhasil membuat wajahku panas.

"Baru beberapa jam kutinggal, kau sudah asik sendiri dan melupakan aku." Ia menarik sebelah alisnya.

"Memang apa yang kau harapkan?" aku mendengus dengan wajah yang semakin merona, dan Reyno malah tertawa geli.

"Kau tidak berubah, Annora." Ia kembali menatapku dan tersenyum.

"Hmm?" Aku mengerutkan alis mencoba membaca mimik wajahnya.

Tapi Reyno malah memeluk tubuhku dan meletakan kepalaku di dadanya. Rangkulan tangannya begitu hangat menekan aku semakin rapat. Aku bisa menghirup aroma tubuhnya yang lembut.

"Bukan apa-apa. Aku hanya suka kau yang seperti ini." Jawabnya sambil mengecup puncak kepalaku, dan melepas pelukannya.

Aku mengusap rambutku canggung. Reyno tampak tak seperti biasanya. Entah kenapa. Ia memang menggodaku. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa kesal.

"Bagaimana meeting tadi?" tanyaku kaku.

"Berjalan baik." Reyno menjawab singkat. Aku hanya mengangguk.

JUST ONE BELIEVE (complete)Where stories live. Discover now