Hari Terbaik

7 2 0
                                    

Nirankara berdiri menatapku lurus. Ada desiran di depan wajah karena tatapannya itu. Dingin, dan melumpuhkan siapa pun. Jubah dokternya membuat penampilannya berbeda. Dan seperti biasa, wajahnya terlihat lelah.

Aku mengikuti Niran ke ruang ICU lantai lima rumah sakit ini. Jalan di sepanjang koridor rumah sakit, keluar dari lift, udaranya lebih dingin dari pada biasa. Entah berapa kali aku mengusap pangkal lengan untuk menghangatkan.

Ada rasa takut sekaligus gelisah ketika menengok Kakek. Waktu hampir tengah malam, tidak ada siapa pun di ruang ICU ini.

"Papamu sengaja menempatkan Kakek di sini," kata Niran. "Dan malam ini, aku sengaja membuat keluargamu tidak menunggui Kakek."

Air mataku makin deras mengalir, "Bagaimana keadaan Kakek?" bukan hanya keadaan Kakek yang aku khawatirkan, tapi juga keadaan Bastian. Ke mana aku bisa bertanya?

"Keadaannya belum berubah sejak di-by pass. Kakekmu tampaknya belum mau menyerah. Kemarin malam, dia menyebut nama kamu. Saat ini, dokter masih menganggap dia koma."

Pelan-pelan, aku mendekat ke arah ranjang pasien kakek. Menggenggam tangannya.

"Kek ...." Ingin sekali banyak berkata, cerita apa saja yang aku alami selama dua bulan ini. Tapi, air mata sialan ini mengalir duluan, tidak bisa ditahan. Yang keluar dari mulut hanya isakan.

Aku duduk di bangku yang ada di sisi ranjang. Menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam jemari kakek. "Aku ...." Ah, masih belum bisa berkata apa-apa.

Niran mengusap-usap punggungku pelan.

Namun, di antara ketakutanku, aku lebih takut dan cemas soal kesehatan Bastian.

Tangisan yang sulit aku kendalikan, aku merasakan tangan yang kugenggam bergerak. Monitor yang ada di dekat kepala kakek berbunyi, entah menandakan apa.

"Ran?" tanyaku sambil berdiri, aku sudah melihat Niran memeriksa dan menekan bel pasien.

Beberapa saat setelah diperiksa, Kakek terlihat membuka mata, melihat ke arahku. Dia tersenyum—yang menurutku konyol.

Namun, aku membalas senyuman konyol itu. Air mata ini mengalir lagi.

"Kakek tahu, kamu pasti datang," katanya lemah.

Yang bisa aku lakukan hanya mengangguk, "Aku belum kembali. Aku hanya datang," tekanku.

Kakek menghela napas, "Keras kepala," katanya.

Aku tak kuasa, selama ini aku sangat merindukan kakek. Jadi, aku memeluknya, tak peduli dia protes, menghela napas, dan mengaduh.

"Aduh, anak ini," protesnya, "Niran, apa dia dengar apa yang Kakek katakan?"

Aku tidak peduli, aku makin mendekapnya erat.

Beberapa saat kemudian, keadaan Kakek membaik, stabil begitu kata dokter yang menanganinya. Namun, tidak bis terlalu lelah. Jadi, sepanjang malam kami mengobrol.

Niran membawakan aneka makanan untukku.

"Kamu terlalu kurus," kata Kakek terbata-bata.

Aku hanya tersenyum menatap Kakek. "Biasanya juga kurus. Selama ini kita jarang sekali bertemu."

"Apa kamu menemukan apa yang kamu cari?" tanya Kakek, suaranya tenang dan dalam. Paling tidak aku tahu kalau di sini adalah tempat yang aman.

Aku mengangguk, tidak peduli makanan apa yang Niran bawa, aku hanya memasukkan ke mulut.

"Di mana kamu tinggal selama ini?" Kakek menghubungi orang di ponselnya. Entah siapa. Atau Kakek memang menghubungi Papi. Aku bersiap kabur.

"Sewa kos," kataku berbohong pura-pura melahap makanan. Padahal rasanya juga tidak enak.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 21 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now