Sesuatu yang Ditutupi

19 2 1
                                    


Aigeia

Perempuan itu berwajah Indonesia. Tidak ada unsur bule sama sekali. Melambaikan tangan dengan senyuman lebar ke arahku atau ... ke arah Sita dan teman-temannya?

"Eh, dia mau ke sini?" tanya salah seorang teman Sita salah tingkah, membenarkan duduknya. Yang lainnya membenarkan rambut dan merapikan kemeja.

"Serius dia mo ke sini?" sahut satunya lagi, alisnya mengerut.

Aku melihat Sita mengangguk, lalu menelan ludah. Apa dosen itu akan mengatakan sendiri kalau Sita gagal dalam sidang?

"Gei!"

Aku melihat ke arah Sita. "Apa dia temanku?"

Sita mengedikkan bahu, "Yang jelas, itu Bu Tanya, dia dosen pembimbing paling susah, dan penguji paling sadis."

Tanya makin dekat, mungkin hanya lima langkah jauhnya dari tempat kami duduk.

"Gei, astaga! Apa kabar?" tanyanya seraya memeluk tubuhku, membuat risi sendiri. "Oh, ya, ampun, gue lupa sejak kecelakaan itu ... Gue Tanya, temen lo kuliah dulu," cerocosnya.

"Apa?" Sesaat aku tertegun menatapnya. Wajah Tanya sama sekali tidak ada dalam alam bawah sadar. Aku tidak perah memimpikan dia. "Oh, hai! Apa kabar?" sapaku seperlunya, dengan tangan yang gemetar luar biasa.

Tanya duduk di dekatku, dia banyak mencerocos soal kampus, dan banyak bertanya tentangku.

"Gue denger, lo tinggal di Jerman?"

Aku mengangguk, terpaksa akrab, tersenyum pura-pura. "Kamu sendiri, bagaimana kabarnya?"

Sementara, Sita dan beberapa temannya sibuk sendiri. Sita memesankan Tanya minuman.

"Baik. Aku sudah menikah," katanya sambil memperlihatkan cincin yang tersemat di jemari manisnya.

"Jadi ... kamu di sini dospem?"

"Dosen. Nggak nyangka, ya?"

"Selamat, ya! You've been married and a lecturer? Pencapaian yang besar sekali dalam hidupmu," pujiku tulus. Dan hidupku belum ada apa-apanya dibandingkan Tanya. Paling tidak dia berhasil dalam satu bidang.

Tanya tersenyum lebar yang tampaknya senyumannya itu tulus.

"Tanya, kamu kenal aku?" tanyaku hati-hati.

Tanya mengangguk, matanya berkaca-kaca.

Sita datang menawarkan minuman yang dia beli.

"Terima kasih, Sita, kamu tahu banget saya suka es jeruk," ucap Tanya.

Sita hanya tersenyum dan kembali duduk.

"Dulu kamu yang suka pesenin aku es jeruk di kantin ini, lho, Gei," ucapan itu sukses membuat aku memelotot. Beberapa saat, napasku berhenti. Dadaku sakit karena berdetak terlalu kencang.

"Jadi aku dulu kuliah di sini? Pantas saja aku seperti mengenali setiap bangunan kampus ini."

"Ya. Kamu dan aku dulu teman. Teman baik, tapi, kamu terlalu misterius," Tanya sambil menyedot es jeruk yang tadi dibelikan Sita.

"Misterius?" ulangku.

Suasana kantin makin ramai, aku melirik jam tangan. Jam makan siang rupanya.

"Oh, iya, Sit, pengumumannya udah bisa kamu lihat. Di depan ruangan yang tadi, ya," kata Tanya.

Sita dan teman-temannya pergi melihat pengumuman itu, tinggal aku dan Tanya. Sebenarnya canggung dan takut berduaan dengan orang asing. Walau dia bilang dia adalah temanku dimasa lalu.

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now