So?

36 8 35
                                    

“Hai, hari ini kita nonton, gimana?”  Suaranya langsung menyerbu gendang telinga ketika mengangkat telepon. “Kamu di mana, hm?”

“Hai, Hallo. Selamat siang ….” Godaku.

“Ya ampun, Gi. Just tell me, where you are?”

Slow down, enggak pake sapa, langsung nanya begitu.”

Tadi kan udah sms bilang ‘selamat pagi’.”

“Ya ampun.” Aku mengalah. “Di kampus. Lagi nunggu jadwal liat dosen pembimbing buat skripsi.”

Cepet banget.”
“Yup.”

Aku jemput. Kita nonton hari ini. Ada film bagus launching hari ini.”

“Oke.”

Oke, bunny see you!” Suaranya terdengar antusias. Ku tekan tombol, memutus pembicaraan.

***

“Nonton apa?” tanyaku ketika bertemu dia—yang sudah menunggu di pelataran parkir motor. 

“Film, suka film kan?” Aku mengangguk, menerima helm darinya.

Roda dua pun bergulir meninggalkan area kampus. Melalui jalanan ibukota dari Rawamangun cowok—ini memilih jalan ke arah Senen. Entah mau ke mana tujuannya, Megaria mungkin. 

Dia selalu menarik badanku agar rapat ke tubuhnya. Sesekali ketika berhenti lampu merah, tangannya melepas setang, beralih menggenggam tangan, sambil mencuri-curi pandang melalui spion. Kalau sudah begini bikin jantung berdetak lebih kencang, ada sensasi aneh yang menjalar dari tangannya yang selalu hangat.

“Nonton film apa, Bas?”

Penasaran, ketika motornya memasuki pelataran parkir sebuah gedung bioskop di kawasan Jakarta Pusat. Benar, Megaria tujuannya.

Pandanganku berkeliling saat mengantre di kasir. Cukup lama, sekitar lima belas menit. Padat penonton, padahal hari biasa. Tak heran memang karena lokasinya berada di tengah kota dan kebanyakan mahasiswa yang memadati bioskop.

Poster-poster bergambar menakutkan, khas mayat hidup dengan wajah yang berantakan sepanjang display bioskop membuat waspada. Berusaha tidak berpikir apa pun, itu mahluk yang sangat menakutkan.

“Kamu takut?” Ekspresinya sedikit mengejek sambil memberi uang ke kasir penjual tiket bioskop.

Aku, berpikir, terdiam, sepanjang berjalan dari kasir ke tempat penjual berondong. Mengikuti dia yang menggenggam tangan, berjalan hingga ke gerai penjual makanan.

“Kali ini aku yang traktir berondong madunya,” kata cowok itu dengan senyum yang menggemaskan.

Dia selalu memakai jaket baseball—dengan jeans bermerk dan selalu sepatu kanvas, hampir sama dengan punyaku.

Biasanya, dia bayar karcis bioskop, aku dengan senang hati membelikan berondong jagung atau camilan untuk menonton.

Gantian, tidak selalu dia yang bayar. Dalam hal apa pun. Dengan pongah aku berkata waktu itu, “Aku juga di kasih uang jajan sama papi!” Dan cowok kesayangan itu hanya tersenyum lebar dan mengelus puncak kepala.

Cowok ini enggak berhenti mengoceh sepanjang film berputar, soal pemainnya, musik pembuka  dan yang paling menakutkan adalah, otaknya yang penuh fantasi berkata: “Gi, sebenernya zombie itu beneran ada.”

“Bas, please stop!”

Rasanya sedari rol film berputar dengan banyak mahluk mengerikan seperti itu membuat jijik. Saking jijiknya, aku bisa merasakan napas mereka berembus terasa hingga ke lidah, makanan yang tadi kita beli tak kusentuh. Ditambah dia bercerita tentang zombie-zombie itu. Aku semakin membeku, ngeri. 

A Love Could Kill UsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt