Someone Who I Never Know

30 9 4
                                    

Aigeia

Hari serasa bergulir cepat, sejak kejadian pergi dengan Bastian ke Museum Gajah. Kegiatan di kampus semakin banyak. Cukup lega sudah bisa mengajukan tempat untuk PKL.

Kebiasaan sulit tidur, masih melekat, entah tadi malam tidur jam berapa. Dan ingat hari libur, Tante Gita tidak akan membangunkan sarapan.

Minggu pagi ini berbeda, ketukan keras di pintu membuat terbangun tiba-tiba. Lupa diri tersandung kabel pencatu daya hingga terjatuh, membuat sadar seratus persen!

Tante Gita, siapa lagi yang bisa mengetuk keras pintu kamarku. Kalau sudah keras begini, biasanya ada rumah tetangga kebakaran atau nyokap bangkit dari kubur.

“Gi, bisa turun sekarang?"

Langsung bertanya ketika membuka daun pintu. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, pikiran masih belum utuh, tidak mampu berkata. Hanya naluri mengikuti gerak tante di belakang. Tetiba kaget dengan gerakan Tante Gita—yang berbalik sambil tersenyum.

“Mandi dulu, atau cuci muka, ganti baju. Hm?"
"Oke."

Aku menyusul ke lantai bawah, setelah selesai cuci muka. Lantas, menghilangkan pikiran negatif yang tadi sempat melintas. Berharap ini hanya keadaan darurat biasa.

Dari balik tangga aku melihat dua orang yang kelihatannya berumur. Mungkin seumuran dengan tante mirip Teresa Teng. Perempuan dan laki-laki, dan satunya lelaki muda mungkin umurnya di bawahku.

Itu dia anaknya. Tante Gita mengangkat dagu, mengembangkan senyum sambil berdiri. "Gei, ini orang tua kamu."

Tanteku satu-satunya memperkenalkan, pasangan itu mengulurkan tangan dimulai dari lelaki tinggi berjas hitam entah berapa usianya, lalu perempuan bergaun hitam dengan blaser warna merah, rambutnya hitam tergerai. Dan, lelaki muda berkaus kerah dengan celana panjang.

Dada ini seperti tidak mau berhenti bergemuruh, gerakan detaknya mungkin terlihat karena berdetak kencang. Melebihi burung yang mendarat setelah terbang jauh. Dada seperti ditekan beban berton.

Suara perempuan yang selama ini tinggal dan mengurusku perlahan menghilang seperti televisi tidak bersuara. Samar kudengar, mereka adalah orang tuaku. Tepatnya, Papa biologis—yang beberapa waktu ini sering dibicarakan Tante Gita.

Lama diperbincangkan, tetapi rasanya sesak juga ketika bertemu. Perempuan di samping lelaki itu istrinya, dan anak mereka cowok—mungkin berumur di bawahku, adik? Aku punya adik?

Suara Tante Gita membuat sulit bernapas, mata pun memanas. Papa? Tiba-tiba semua suara tidak terdengar ditelinga, dengan cepat bangkit dari duduk, mencoba berkata untuk pamit dari hadapan mereka.

"Maaf ...." Gagal. Sepertinya suara tertahan, napas dan juga detak jantung bagai berhenti.

Berlari, tergesa ke kamar. Meraih telepon genggam dan menekan nomor Natasha—yang juga sulit kulakukan. Tangan lebih gemetar, lebih dari saat aku ingin menghubungi Bastian. 

“Nat ...." Hanya isakan yang keluar dari mulut. Seperti enggan berhenti, hanya isak demi isak yang keluar ketika ingin berbicara.

“Gei, kenapa? Gei, jawab gue!"
Masih nggak mampu menjawab apalagi bercerita.

"Gei! Enggak jawab juga?" Gue tutup teleponnya.

Tangisan yang sangat dalam, teringat kelebatan kejadian yang baru saja terlewat baru-baru ini. Ke mana dia, disaat mama meninggal dan hidup terlunta-lunta, seringnya kelaparan, Tante Gita yang memutar otak bagaimana caranya kita bertahan berdua.

Telepon genggam berbunyi lagi, terdengar suara panik dan khawatir dari seberang sana. Aku coba menghapus air mata yang membanjiri wajah. Menarik napas, agar bisa berbicara.

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now