Anak yang Baru Pulang

31 7 7
                                    


Akhirnya, orang—asing yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupanku itu, meminta pindah, tinggal bersama di rumahnya. Entah apa pekerjaannya, dia menghadiahi gawai terbaru layar sentuh, lengkap dengan pulsa yang bebas mau di pakai sampai berapa pun.

Alhasil—setiap malam Natasha menjadi tempat berbagi terbaik. Paling tidak, kita lebih sering bercerita lewat sambungan Internasional. Terkadang mengisi waktu jika mata enggan terpejam. Teknologi terbaru adalah panggilan dengan video, tak perlu ongkos mahal untuk Nat datang ke Indonesia. Berbekal kamera depan ponsel, kita bisa bertatap muka.

Perempuan yang bersama Papi. Ya, begitu aku menyebutnya 'Papi',  perempuan itu terkadang datang. Bukan terkadang, tetapi sering. Membantu membereskan barang keperluan pindah. Banyak benda yang tersimpan lama, tidak kugunakan, muncul ketika membereskan kamar ini. Malas beberes! 

Aku tidak ingin menolak bantuan atau ingin menanggapi setiap kali dia mengobrol, tetapi hati ini seperti ingin berontak, menolak lantas berteriak.

Entah memanggil siapa. Ingin menyebut sebuah nama, Natasha mungkin. Lantas berlari ke pelukannya mungkin.   

Hingga tiba saatnya harus benar-benar meninggalkan kamar ini. Kamar selama delapan tahun. Berulang kali berkeliling, tanganku gemetar, menyentuh setiap barang yang ada disetiap sudut, seperti mengucap selamat tinggal. 

Ranjang kecil. Kursi dekat jendela besar. Perangkat komputer yang kututup dengan kain. Lalu lemari satu pintu sederhana. Selamat tinggal!

Terbayang-bayang, ketika pertama kali mama menunjukkan kamar ini. 

Teringat binar wajahnya, senyumnya. Membentangkan kedua tangan ke atas, "Tara ..., Lihat kan, jendela itu!" serunya, aku mengangguk ketika dia berkata di belakang badan. Kedua tangannya memegang pundak. "Itu supaya kamu enggak kesepian. Bangun pagi melihat matahari terbit setelah sholat subuh. Jadi, jangan lupa subuhan ya!" Penuh semangat aku patuh akan permintaannya.  

Lalu, teringat akan kejutan ulang tahun yang dia buat di pagi, hari jadi yang ke dua belas. Kue yang bertengger lilin angka satu dan dua. Mama memilihkan kue cokelat kesukaannya, yang waktu itu terasa sangat lezat. 

Lalu, kita hanya duduk berdua di depan jendela kamar Mama, menanti matahari terbenam serta mengucap banyak permintaan. 


Juga terbayang ketika dia ada di samping mengajarkanku banyak hal. Rasanya semua kejadian berulang di depan mata, membuat hati makin sesak, sebersit pengandaian muncul. Andai Mama tidak meninggal.

Walau selalu bangun subuh, tetap, hari libur, aku selalu tertidur. Mama pasti membangunkan—seringnya sambil memegang cangkir berisi kopi, lalu dia berkata, "Mau bangun jam berapa?" 

Mendampingi membuat PR, mengulang mata pelajaran. Melalui malam ketika mimpi buruk datang. Atau bernyanyi-nyanyi lagu kesukaan ketika hari libur. Suaranya bukan seperti Yuni Shara tetapi yang paling nyaman—yang pernah kudengar.

Dan ketika perangkat komputer itu menjadi salah satu penghuni kamar ini. 

Hal terakhir yang dia tinggalkan sebelum kecelakaan lalu lintas merenggut nyawanya. Saat itu, dia banyak tersenyum kepadaku.


Ku hela napas panjang-panjang, aku sudah merindukan kalian, bahkan sebelum meninggalkan kamar ini. Lirihku sendirian. Mata pun berair, berat meninggalkan ini semua. 

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now