Tunggakan Uang Kuliah

45 8 2
                                    

(Aigeia)

"Apa? Empat juta?”

Membeku di depan loket administrasi kampus, tagihan semesteran kali ini di luar dugaan. Hal yang pertama kali terlintas, bagaimana cara membayarnya?

Tante Gita mungkin bisa menutupi ini, tapi nggak mungkin minta uang sebanyak itu.

Kertas tagihan masih dalam genggaman. Rasanya, tulang yang ada meluncur keluar begitu saja, meluruh terduduk di kursi di ruang tunggu Tata Usaha. Tidak mampu berpikir apa-apa atau berjalan. Biasanya memang nombok, tetapi tidak sebegini besar. Baru ingat, beasiswaku hanya sampai semester empat.

Tanpa sadar menggigiti kuku jari, kaki pun bergetar, memandang kosong ke depan. Telepon genggam disaku yang bergetar membuyarkan semua, tetapi tidak masalah empat juta.

Tony, nama yang muncul di layar monokrom.

Mengumpulkan kesadaran, dengan mengambil napas lalu mengeluarkan pelan. Lantas beranjak ke ruang sekretariat tempat si pemimpin redaksi biasa nongkrong.

“Lo tahu, minggu kemarin oplah majalah naik. Sampe naik cetak lagi gara-gara ada liputan Dante’s.” Si beruang Grizly yang kutemui di sekretariat memaparkan panjang—lebar soal oplah yang kemarin meningkat. Pujian dari dekan kampus juga dari hasil liputan yang aneka—macam.

Ikut bangga? Mungkin. Sedikit karena sumbangan liputan dan juga aku yang mengolahnya.

“Terus?” Dahiku berkerut, menerka kira-kira apa maksudnya.

“Ada beberpa hal yang mesti lo kerjain. Lo inget kan si tante yang waktu itu di wawancara buat kolom Kota Jakarta?”

“Jangan bilang gue mesti wawancara dia lagi!” dengkusku, mengalihkan tatapan Tony yang mulai bikin sebal setengah mati.

“Ada dua, sebenernya. Tante, tentu aja buat isi kolom Kota Jakarta, sekaligus buat cari tahu pendapat dia tentang buku Emka yang baru aja launching.”

“Baru launching?”

“Enggak baru juga, gue pengen denger aja realitanya versi dia. Dia juga kan pemain lama. Lumayan ‘megang’ Jakarta.”

“Terus, siapa lagi?”

Mataku mendelik sambil memiringkan badan ke samping, membuang pandangan. Rasanya pikiran tunggakan empat juta masih menempel dan tidak mau hilang dan si pemimpin redaksi ini bicara setengah-setengah, bikin penasaran!

Kalau tugas kampus si, biasa banget. Kadang tugas wawancara membawa suatu pengalaman yang baru. Apa lagi wawancara si tante—yang sebenarnya adalah muncikari. Menarik!

“Jangan marah!”

“Bukan marah, lo bertele-tele. Sementara, lo bisa langsung bilang.”

Pria itu tertawa, “Kan gue pembukaan dulu, sebelum lo mulai kerja. Jadi wawancara si tante sama Bastian.”

“Bastian Dante’s?”

“Iya, siapa lagi? di tulisan lo kemaren panggilan dia si ‘Everest’.” Tangannya berpindah dari atas meja sekarang dia membuka laci yang ada di bawah meja. Lalu menyodorkan amplop putih seperti biasa. “Ini ada bonus yang kemaren.”

Aku menerimanya dengan sejuta pemikiran dan pengharapan, uang itu bisa bertambah hingga empat juta.

“Kalo mau liat yang jomlo di Dante’s bukan cuma Bastian, kali! Reza juga jomlo.”

“Tapi gue tertarik sama dia.”

Aku melebarkan mata. “Lo—naksir?”

Tawanya menggelegar. “Bukan naksir begitu. Astaga! Umm…. Kenapa dia sampe dipanggil ‘Everest’? Reza pernah pacaran sama salah satu personil band cewek Bandung kalo enggak salah. Sigit tunangan, kan? Donny pun pacaran sama artis pendatang baru, gue lupa namanya.”

A Love Could Kill UsOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz