Museum

18 3 2
                                    


Bastian

Gue pikir Bima benar, kabur ke Singapura kurang jauh!

Hidup di negara ini sepertinya sama aja kayak di Indonesia. Paling nggak jauh dari ambu, dan jauh dari omongan ambu yang: Bas, mendingan kamu nikah, lupain Aigeia!

Selama ini gue sayang Sienna, Ambu, Sandra, tapi kalau mereka bicara soal Aigeia selalu bikin gue muak. Emosi.

Kalau di telepon, Ambu selalu berkata begini, "Coba aja, atuh, Bas kenal sama awe we itu. Ambu, mah. capek nyiapin perkenalan ini. Mana mahal telepon luar negeri." Kali ini gue menanggapi saran Ambu.

Mungkin kenalan dengan gadis lain bikin gue lupa Aigeia. Lupa dengan kerinduan gue yang mendalam.

Tapi rasanya, semua percuma. Gue yang lebih lelah dari pada Ambu. Lelah melupakan Aigeia, melupakan anak kita.

Gue tahu Aigeia nggak akan mungkin ada di Singapura atau Jakarta. Tapi, rasanya, di antara berjuta wajah, gue nggak berhenti mencari wajahnya. Atau senyumannya. Bahkan ketika dia menangis.

Demi mengobati rindu itu, gue sering datang ke atas langkan tempat kita bertemu lewat tengah malam waktu itu. Terlalu sering ke sana hingga delusi gue yang berjalan.

Depresi!

Overwhelmed dengan semua kejadian yang menimpa gue. Dan gue merasa harus berlari, tapi ketika lelah, semua itu menyerang gue lagi.

Beberapa bulan di rumah, gue berhasil dapat pekerjaan. Setahun kemudian jadi karyawan tetap dan dimutasi ke Singapura. Beruntung di Singapura ada teman geblek tapi baiknya nggak bisa diukur. Bima Sakti. Walau posisi dia di perusahaan lebih tinggi, dari gue, karena masa kerja yang lebih lama.

Dua tahun di sini sama Bima Sakti, Singapura terasa lebih friendly buat gue.

"Iya, buat gue tapi Neraka!" protes Bima.

Kalo pagi begini, emang bagian dia siapin sarapan, dan dia benci banget. Dapetin raut muka Bima yang bete sudah biasa!

Karena di flat ini hanya ada gue dan Bima, jadi, kita berdua bagi tugas.

Bima siapin sarapan, segala perlengkapan sarapan adalah tanggung jawab dia. Dan gue adalah makan malam!

Kalau soal bersih-bersih cuci setrika baju, kami serahin ke ahlinya.

Maklum, meski dua laki ada di flat ini, nggak akan sanggup handle domestik rumah tangga.

Buat irit biaya, kami biasa naik angkutan umum.

"Hari ini ada rapat penting," Bima berkata membuka obrolan. Memang dia selalu banyak omong ketimbang gue.

"Yep," jawab gue, sambil memperhatikan jalanan yang mulai ramai. Gue dan Bima berjalan menelusuri jalan hingga memasuki gedung yang lumayan besar. Kantor gue selama dua tahun ini. Kantor akuntansi publik internasional.

"Coffee?" tanya seorang perempuan, itu teman satu ruangan, satu tim juga. Walau masih junior, tapi cukup hebat! Dia selalu menyodorkan kopi hitam ketika gue datang.

"Buat gue mana?" tanya Bima jail.

"Buatlah sendiri," jawabnya, muka Bima makin bete.

"Gue tahu lo ganteng," kata Bima jengkel.

Sekali perempuan itu pergi dari depan meja, gue berikan kopi itu untuk Bima. "Nih, terima kasih udah selalu bikinin sarapan buat gue," ucapan gue disambut senyuman semringah Bima.

Bima selalu menjelaskan segala sesuatu dengan mendetail. Cowok itu benar-benar mengabdikan semua waktunya untuk bekerja. Klien-klien yang kami tangani juga sudah bukan perusahaan kecil lagi.

A Love Could Kill UsМесто, где живут истории. Откройте их для себя