Chapter 2: Tunjuk Satu Bintang

122 17 11
                                    

"Dante! Dante!"

Gue tersenyum-puas. Turun dari panggung bareng personil Dante yang lain, dan semua penonton masih mengelukan nama kita, rasanya ada kebahagiaan tersendiri.

Anggota Dante's ada Reza, Donny, Bagas dan Sigit, posisi gue di band, sebagai gitaris dan backing vokal. Selain itu, jadi manajer band. Maklum aja, semua dilakukan sendiri.

Gue menenggak sampai habis air mineral.

"Mas, Bas, ada yang mau wawancara," salah seorang panitia menghampiri kita. Hampir bikin keselek.

Gue, mengambil napas, lalu melempar pandangan ke Sigit dan Doni.

"Oke, deh, gantian," ucap Sigit.

"Thanks, Man!" ucap gue lega sambil berjalan ke ruang tunggu pengisi acara sore itu. Dari siang, kayaknya udah banyak yang wawancara-wawancara. Capek.

Ruang tunggu, lebih adem di sini, melihat Sigit yang diserbu sama beberapa pewawancara gue senyam, senyum sendiri.

Main band adalah kegiatan sampingan untuk isi waktu luang kuliah.

Dan gue tanya yang bener, emang mahasiswa punya waktu luang?
Gue bisa jawab, banyak!

Main musik pas buat gue-yang lebih suka kegiatan di luar, main, nongkrong, nonton film, musik. Kegiatan kayak gini sering dapat protes dari bokap, tetap santai masih tetap kuliah, walau enggak setiap hari.

Urusin Dante's mungkin ini salah satu faktor yang bikin kuliah pun terhambat. Bayangin, umur hampir dua puluh tiga masih stuck di tahun ke tiga.

Festival Musik Kampus, hari ini-kebetulan bertempat di lapangan kampus gue yang cukup luas. Selain panggung besar juga tata cahaya yang gila-gilaan, ada beberapa stand bazaar. Donny yang ribut titip jual beberapa merchandise Dante's di salah satu stand. Beberapa artis dan band terkenal Ibu kota tampil di acara ini.

Dante's dapat jatah manggung jam dua dan terakhir sore, jam lima. Setelah itu, karena mendapat akses ke mana saja, gue memilih tempat berdiri di sisi panggung, lebih dekat lihat idola.
Panggungnya lumayan tinggi, satu setengah meter lebih dari tanah dan lebar. Sesuai standar panggung pementasan pada umumnya.
Malam menjelang tidak terasa, masih ada beberapa band yang belum tampil. Dari tempat berdiri, gue lihat cewek yang menaiki panggung pelan, hari ini lumayan banyak wartawan majalah, koran ibu kota atau juga, lokal kampus dari Jakarta atau Depok. Mungkin dia salah satunya, karena gue melihat dia mengambil beberapa foto dan bawa kamera juga nametag tergantung di leher bertuliskan all access Kampus Raya, terlihat jelas cukup dekat dengan cewek-itu. Melintas di depan. Mengganggu? Gue pikir enggak, dia cewek-yang lumayan, good looking!
Beberapa saat cewek itu berusaha menuruni panggung. Satu ujung kakinya menjejak ke tanah, sibuk mencari keseimbangan, jarak kita terlalu dekat. Terlihat jelas, limbung dan hampir terjatuh, refleks tangan gue meraih pinggang dan menarik pangkal tangannya, kedua tangannya sudah menahan kamera yang hampir jatuh.

"Sorry ...," kata dia, suaranya hampir tenggelam karena hentakan musik. Wajahnya? Enggak terlihat jelas, karena pencahayaan dari lampu panggung yang warna-warni bergantian. Hanya perhatiin rambut sebahunya yang tergerai.

"Nggak apa-apa," jawab gue singkat dan sekenanya.

"Panggungnya tinggi juga ternyata." Kali ini suaranya teriak, sambil melepas cekalan tangan gue dan merapikan kemejanya.

"Iya, hati-hati."

"Ok, trims!"

Diam-diam lihat dia di sisi panggung, mengambil beberapa foto. Lalu, sibuk dengan telepon genggamnya. Pacar?
Segera gue tampik pikiran itu.

Penasaran, gue mengikuti dia berjalan diam-diam di belakangnya. Dia ke kantin kampus, menemui seseorang perempuan, yang namanya Natasha?

Bagas, dan teman satu band yang lain terlihat sudah mengobrol akrab dengan Natasha, dan cewek berambut sebahu itu ada di sampingnya.

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now