Berita

27 4 3
                                    


"It's called love, Bas! Love can make people do something beyond common sense, even the stupidest thing!" -Sienna.

Bastian

"Gi, ini alat tes kehamilan? Punya siapa?"
Gue cuma tahu itu alat tes kehamilan, tetapi enggak pernah tahu apa artinya garis dua merah.

Lirih-lirih, dia menjawab. "Aku."

Gue melihat semuanya seperti diambil begitu saja, enggak mampu menjawab apa-apa. enggap mungkin kalau misalnya hasil tes itu enggak hamil, wajah Aigeia sebegitu mendungnya.

Dan, gue juga enggak siap dengan semua ini. Antara nyeri kepala dan juga pikiran Aigeia hamil, badan ini makin lemas aja.
Dia juga seperti duduk melemas di pinggiran ranjang samping gue. Kata-kata, 'aku' seperti berulang-ulang menggaung di telinga. Hingga sulit sekali membedakan mana yang nyata, dan telinga seperti tertekan. Napas pada akhirnya memburu, sedikit gue menoleh. Mengumpulkan segala kesadaran yang gue punya.

"T-tapi, kita selama ini masih bisa menjaga, 'kan?" Astaga, apa-apaan gue bilang begitu, seakan enggak menerima dengan berita kehamilan ini. Aigeia sesenggukan, sementara, gue enggak mampu merengkuhnya. Gue menarik napas. "Maksudku ...."

Damn! Gelisah ini begitu nyata, enggak mungkin gue netralisir dengan cepat. Apa yang harus dilakukan? Badan gue gemetar tak karuan.

Rasanya, hampir dua bulan ini sakit, berarti paling enggak perutnya membuncit walau sedikit. Jantung gue berdegup kencang, seperti mau loncat dari rongganya.

Gue menenangkan diri, dengan memeluknya, berharap ini akan saling menenangkan.

Entah beberapa saat, kita saling menjauh. "Gi, I've been thingking ..." Gue menarik napas.

"Apa, Bas?"

Gue menaruh tangan tepat di perutnya."Kita enggak bisa merawat dia, Gi."

"Maksudnya?"

"Kenapa kita enggak gugurin aja? Papi kamu enggak perlu tahu, kita bisa lanjutkan hidup tanpa dia," suara gue gemetar membujuk dia.

"Maksud kamu apa, Bas? Apa kamu pernah mikir ketika kamu lakukan itu?" Air matanya menderas turun, sungguh enggak tega melihatnya. Tetapi memang begini keadaannya. Kita enggak akan bisa merawat bayi itu.

"Gugurin, Gi," kata gue lirih juga menekan, air mata tak kalah tumpah juga. Menatap dia juga penuh harapan.

"Apa?" Mata Aigeia berkilat penuh amarah.

"Lagi pula, kita belum siap untuk ini, Gi."

"Kalau memang kamu belum siap, kenapa kamu melakukannya, Bas?"

Gue terdiam, tak mampu berkata, terduduk lemas di tepi ranjang. "Lagi pula, kenapa kamu yang enggak konsumsi KB," tuding gue lagi. Sayang memang mengapa kata-kata sayang atau apa pun itu hanya seujung nafsu belaka.

"Bas!" sentak Aigeia, dia bangkit dari ranjang, dadanya naik-turun seperti menahan amarah yang sangat besar, wajahnya pun memerah.

Disaat begini, tidak ada yang bisa gue lakukan lagi. Lantas dia beranjak pergi ke pintu. "Maafin aku!" pekik gue pada akhirnya. Aigeia berbalik, menatap gue. "Aku cuma bingung, Gi. Enggak tahu harus apa?"

Cewek itu mengusap wajahnya kasar. "Aku pun takut dan bingung, aku yang membawanya nanti sampai sembilan bulan ke depan." Dia menghela napas. Dia benar, apa yang gue lakuin tadi lakhnat. "Aku harus hadapi papi dan semua keluarga."

Gue berjalan mendekatinya. "Sorry, I will responsible, I give you my words, right?"

"Yes. I know."

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now