Kecemasan

11 2 0
                                    


Bastian

Coba gue inget-inget kejadian seminggu ini yang bikin gue kelamaan jauh dari Aigeia.

Meski bisa SMS, teleponan nyolong-nyolong dari Sienna, rasanya nggak puas kalau nggak ketemu sama orangnya langsung.

Semua itu berawal dari Bali, pesta pernikahan Sandra. Terus, karena keseringan sakit kepala, Sienna mengatur jadwal di Singapura untuk pemeriksaan kepala selama dua hari.

Sebenarnya bukan cuma Sienna yang takut, tapi ... gue juga takut. Selama pemeriksaan, makan, tidur dan minum gue nggak bener. Ditambah, perbedaan waktu bikin linglung, kadang gamang, disorientasi. Semua kacau! Masa cuti gue tinggal satu minggu, dan banyak email masuk.

Belum sama sekali ada yang gue baca.

Niat pulang ke Jakarta mau langsung kerja, tapi sakit di kepala rasanya tidak bisa ditolerir. Apalagi karena pemeriksaan kemarin. Obat ini dan itu masuk ke tubuh. Masih lemah, capek nggak karuan, sampai akhirnya gue merasa kepala gue terbentur. Tapi, sama sekali nggak paham ke mana gue jatuh. Semuanya lalu gelap begitu aja.

Pingsan, rasanya seperti kehilangan banyak waktu.

Hingga rasanya gue harus bangun, karena sinar matahari yang hangat di wajah dan sebagian tubuh.

Suara gue, hilang. Rasanya sudah membuka mulut, tapi tidak ada suara yang terdengar. Gue melihat ke arah kiri. "Siapa saja."

Ah, akhirnya keluar juga suara ini.

Ada Sienna yang berbaring di sofa.

"Sienna?!" hampir nggak percaya dengan apa yang gue lihat. Napas gue memburu, nggak sanggup membayangkan kalau Sienna ketemu dengan Aigeia. Apa mungkin?

Sienna mengeluarkan stetoskop, memeriksa semua tubuh dari kepala sampai ujung kaki. Ada perawat yang membantunya.

"Suhu badannya sudah normal, Dok," kata si perawat itu.

"Oke, kamu boleh keluar, thanks!" ucap Sienna pelan. Dia lalu menatap gue, setengah mati gue tahan untuk nggak bertanya ke mana gadis itu. "Lo nggak apa-apa?" tanyanya.

Gue hanya mengangguk, napas gue masih belum bisa berhembus beraturan. "Gue di mana?"

"Di rumah sakit, Reza yang bawa lo ke RS dekat apartemen, terus, karena gue praktek di sini, gue pindahin aja lo ke sini," ucap Sienna.

Nggak lama, terdengar suara pintu kamar dibuka. Donny muncul, paling nggak kemunculan dia membuat gue tenang sedikit. Ada seseorang yang bisa jelasin, bagaimana kejadian malam itu.

"Hai, Men!" sapaan Donny renyah, seperti nggak terjadi apa-apa. Dan seolah, dia nggak ada di sini. Atau memang dia ...

"Kak Sien, aku bawain sarapan, ni," kata Donny, tangan gue mengepal. Buat apa dia banyak basa-basi begini? "Gue nggak lama-lama, ada syuting soalnya."

Ah, bangsat!

"Wah, terima kasih, gue makan ini dulu, ya. Pulang sebentar, nanti setelah ambu datang ke sini," kata Sienna lantas mengerling ke arah gue.

Ambu? Ulang gue dalam hati.

"Gue pulang aja hari ini. Banyak kerjaan," cetus gue tiba-tiba, entah dari mana munculnya suara gue.

"Apa?" Sienna membulatkan mata.

Donny serba salah melihat kita bergantian, "Nggak apa-apa, nanti aku aja yang temenin Tince sampe pulang, hahaha," katanya.

"Benaran, ni, Don?" tanya Sienna.

"Beneran, Kak," Donny mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. "Nanti aku yang urus Bastian."

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now