Hunting Hatinya

38 9 9
                                    


Bastian

Macet bikin bete! Melewati jalan raya Depok menuju Rawamangun.

Siapa yang bisa nebak, pagi ini pengen satronin Aigeia ke kampusnya.

Untung, mengendara roda dua. Nyempil dan menyalip di antara roda empat, atau angkutan kota besar, kecil, mikro membuat perjalanan lebih cepat.  

Seinget gue, ada temen SMA berkuliah di sana, minta tolong sedikit buat cari Aigeia. Untung lagi teman SMA itu ada di fakultas yang sama. Agak lama, baru tahu kalau hari ini dia nggak masuk karena sakit.

Tanya sana-sini baru tahu alamat tinggalnya, cukup sulit, ternyata dia bukan tipe suka banyak bergaul atau menyapa orang. Salah satu teman sekelasnya, Tanya. Itu juga kebetulan dia lewat dan menyapa teman SMA gue.

Ah, kenapa enggak tanya Natasha sekalian. Otak gue ini kenapa kayak lumpuh kalo ingat segala sesuatu tentang dia. Melihat alamatnya di Jakarta Timur, dekat Kampung Melayu. 

Akhirnya, sampai di depan sebuah rumah sederhana. Berpagar hitam, terasnya lumayan asri ada pohon mangga menaungi dan rapi. 

Wanita berambut lurus membukakan pintu setelah menekan bel yang ada di tembok pagar. Dia tersenyum ramah, entah siapa.

"Siapa, ya?" tanyanya sambil membuka grendel pagar berwarna hitam ini.

“Maaf, ada Aigeia?
“Oh. Kamu siapa? temannya? Atau?"

“Saya teman Aigeia."
"Oh, saya panggilin." Silakan duduk dulu.

Gue mengenyakkan badan di bale yang ada di teras. Tidak berapa lama, wanita itu muncul membawa tas kerja kotak. Dan tentu saja bersama cewek yang gue cari. Masih dengan pakaian tidur sepertinya. Celana pendek sedengkul dan kaos putih bertuliskan 'hibernation', bergambar beruang kecil.

“Tante, ini Bastian. Bastian, ini Tante Gita. Tante gue.”

Gue, menyambut uluran tangan Tante Gita yang langsung pamit berangkat kerja. Cewek itu mengenyakkan badan di samping.

"Ada apa, Bas? Cari gue?" tanyanya.

"Katanya lo sakit?" Gue bingung. Dari mana tahu dia sakit. "Eh, tangan lo gimana? Udah sembuh? Lagian gue mau lihat foto yang kemarin. Yang lo foto waktu wawancara."

"Oh. Gue pikir mau minta sarapan." Dia menatap, sambil tersenyum.

Karena dia tersenyum, gue tertawa kecil.

"Gue berangkat siang, bukan sakit. Tangan, udah balik kayak biasa kok. O, sebentar," ujarnya.

Nada bicaranya lantas berubah menjadi datar, dia bangkit dari duduknya lalu beranjak ke dalam rumah.

Sementara itu, gue tengsin ketahuan modus.
Cukup lama menunggu. Cewek itu akhirnya muncul dari dalam rumah, dengan baju lebih rapi. Membawa minum, dan majalah yang masih disegel. 

"Ini, hasil liputan kemarin tentang kegiatan lo. Ini yang bareng Dantes. Dan ini foto yang kemarin."

Sambil memberikan majalah itu, enggak cuma satu, ada beberapa. Dia menunjukkan liputan tentang Dante's dan liputan seharian gue.

Serta foto yang kemarin, bukan lumayan lagi. Keren!

"Kayaknya lo bakat banget jadi fotografer."
"Biasa aja."
"Oh ya, hari ini mau ke mana?"
"Mau hunting buat artikel kolom human interest di Tanah Abang."
"Gue temenin."
"Serius?" Matanya melebar, lucu.

"Iya, bener, gue temenin. Kemaren kan lo temenin gue seharian.”

“Bas, tapi kita engga bisa pake motor, gimana?”

A Love Could Kill UsKde žijí příběhy. Začni objevovat