Lima Tahun Berlalu

22 3 2
                                    

Lima tahun kemudian

"Danke," ucap Klaus ketika aku menyelesaikan pekerjaan. Dan klien yang memuji Klaus habis-habisan, membuat lelaki kaukasia tinggi-itu semringah!

Dengan senang aku mengangguk dan tersenyum. "You're wellcome."

Dan, dia tidak keberatan ketika aku meresponnya dengan bahasa Inggris. Karena Klaus aslinya dari London.

Sambil terus membereskan alat-alat yang sudah digunakan Klaus. Seorang fotografer muda kenamaan. Paling tidak dia terkenal di kota Munich. Jadi asistennya adalah salah satu cara agar aku tetap sibuk dan melupakan mimpi burukku.

"Then, what about your leave plans?"

Salju akan turun, dan aku sangat membencinya. Aku harus bergegas, tapi pertanyaan Klaus harus aku jawab juga. Napasku terengah-engah menyusul dia duduk di kursi taman.

"Yes, i'll take two months leave. What do you think? Do i have a permitted for that??"

"Of course, you can help me with the photo shoot next month in Indonesia."

Aku mengangguk. Ada kebingungan dalam hati, aku memang dari Indonesia. Tapi, di mana tempat bagus yang Klaus suka? Bukan hanya ingatan, aku kehilangan segala-galanya.

"So, do you have any idea yet?"

"About the photo shoot?"

Klaus tertawa kecil. "No. About your memory. Do you have any idea which places will reverse it?"

Aku ikutan tetawa.

"You think too hard," nada suara Klaus mirip ejekan.

Mungkin apa yang Klaus katakan benar. Lalu aku menggeleng.

"Really?" Klaus memajukan badan, mendekatkan diri ke arahku.

"Jakarta, maybe," kataku sambil mengedikkan bahu. Menggosok-gosok kedua telapak tangan. Mengeluarkan foto yang selama ini selalu aku simpan dalam dompet. Ya, aku hanya punya foto ini. Mungkin aku yang ambil, atau ada seseorang yang membuatkannya untukku.

Aku menyerahkan kepada Klaus. Dia manggut-manggut, lelaki itu tertarik dengan foto itu. Sama sepertiku, foto patung besar.

Klaus kembali manggut-manggut, "Yeah, i see."

"Maybe, i'll be look where the statue is," balasku. Klaus memang tahu tentangku. Bukan ke keluarga, tapi aku banyak cerita kepada Klaus.

"Well, just let me know if you need help," ujar Klaus sambil menepuk pelan pundakku.

Aku hanya mengangguk.

Kami berpisah setelah Niran menjemput di lokasi. Aku berbohong kepada semua keluarga. Aku mengatakan kalau Klaus adalah pengajar di tempat les foto.

Dengan begitu, mereka tidak akan tahu kalau aku punya pekerjaan lain.
Ternyata hidup di belahan dunia lain tidak lebih baik. Lebih jelasnya, tidak membuat kehidupanku lebih baik.

"Hai!" sapa lelaki itu ketika aku masuk ke mobil. Wajahnya selalu tersenyum ramah.

Aku membalasnya dengan senyuman.
Selain itu, Niran yang tidak akan membiarkan aku sendirian.

Tadinya, aku berpikir kalau Jerman akan menjadi negara tempatku berlari dan menyendiri, jauh dari kehidupan orang banyak. Fokus mengembalikan ingatanku yang hilang.

Nyatanya aku salah.

Papi yang terus-terusan mengkontrol semua kehidupanku, termasuk pilihan berkarir.

Sekarang kami menuju restoran untuk makan malam. Papi yang mengundang, entah apa yang akan dibicarakannya. Dari pembicaraan di telepon kemarin, suara dan bahasa Papi serasa formal.

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now