Now, That I Found You

14 3 2
                                    


"Gia?" panggilan gue terlalu lirih, nggak akan terdengar.

Dia mirip, mirip Aigeia, memakai tas punggung hitam. Topi yang dipakai terbalik menghalangi wajahnya, larinya terlalu cepat, hingga samar melihatnya.

Cewek mirip Gia itu sembunyi di belakang gue. Tangannya gemetar menggenggam baju yang gue pakai. Terlihat ada satpam di belakangnya menyusul, dan berhenti tepat di depan gue, napasnya terengah-engah, tidak bisa bicara, jadi dia menunjuk-nunjuk dengan tongkat. Dia menatap gue? Atau cewek yang di belakang gue?

"Sini kamu!" panggilnya galak.

"Heh, heh, ada apa ini?" tanya pak satpam yang jalan bareng gue, Pak Bejo.

"Ada apa, si, Pak? Sebenernya?" tanya gue pada akhirnya. Bukan apa-apa, gue deg-deg-an juga. Apalagi wajah satpam itu garang dan bawa tongkat segala.

"Ini, lho, dia itu ketahuan mau maling di museum," jelas si bapak satpam sambil terengah-engah.

"Enggak, Pak! No! I didn't steal!" bela cewek itu, suaranya mirip. Wajahnya belum gue lihat seutuhnya.

Oke, gue nggak sabaran, jadi gue putar badan hadap ke belakang.

"Beneran, gue nggak maling," katanya lagi sambil menunduk, tangannya menangkup. "Percaya, deh, sama gue."

"Kenapa lo lari kalo nggak salah?" tanya gue.

"Gue takut," dia menunjuk dengan dagu ke arah satpam yang membawa tongkat. Mukanya memang kasar dan hitam.

"Lo jelasin ke dia."

Sekali lagi dia menggeleng, "Tolongin gue, please ..." dia memohon, suaranya gemetar.

Terpaksa, kan, gue nolongin cewek ini.

"Kalo sampean ndak salah, lah, ikut aja ke kantor, jelasin semuanya," kata Pak Bejo seperti penengah.

" See?"

"Kamu mau temenin saya?" tanyanya, bikin mata gue membesar, bisa ancur, dong semua rencana gue hari ini.

"Oke," jawaban bego! Kenapa gue jawab oke?

Kalo aja ada orang di sini yang tahu Aigeia, semua ini pasti jadi perdebatan. Belum tentu dia Aigeia. Tapi, hati kecil dan ingatan gue yakin itu Aigeia. Yang mana harus gue percaya sekarang? Ini situasi genting!

Rasanya hanya lima tahun nggak melihat dia, tapi mengapa semuanya beubah.

Jadi, di sinilah, kita, kantor pemeriksaan museum, ada Pak Bejo. Dan satu lagi, yang ngejar cewek mirip Aigeia.

Cewek itu membiarkan satpam menggeledah isi tasnya. Wajahnya seperti waspada atau ketakutan? Iya, kamera kecil, dompet dan buku catatan. Minyak wangi? Nggak ada barang museum ada di situ.

Satpam itu mengambil dompet dan melihat KTP-nya. Mata gue nggak lepas menatap cewek itu. Aigeia. Ya, dia!

Gue mengatur napas, jantung gue berdetak makin keras. Sebisa mungkin memasang wajah biasa saja. Namun, rasanya bukan cuma jantung yang bereaksi, mata gue mulai panas. Gue bisa merasakan kalo air mata akan turun.

"Ini, lho bukan KTP Indonesia, sampean tinggal di mana?" tanya Pak Bejo, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Aigeia.

"Di Jakarta," jawabnya polos, sambil menatap satpam yang menggeledah tasnya.

Gue tersenyum, polos. Masih seperti dulu. Udara di ruangan ini rasanya makin tipis.

"Saya ke kamar mandi dulu," pamit gue, nggak kuat nggak memeluk dia. Rindu ini terlalu besar.

A Love Could Kill UsWhere stories live. Discover now