08-Cokelat

193 26 4
                                    

Adakah yang membaca? Tidak ada pun aku tetap gwaenchanayo.
Kalau ada yang melihat, ayo bantu vote jika berkenan.

***

"Mmm! Ennnnn!!! NGGG!" Teriakan seorang wanita muda menggema ke seluruh ruangan. Ia mulai lelah berteriak. Semakin ia berteriak, rasa sakit semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia pun hanya bisa terisak.

Cklek!

Pintu dibuka, menampakkan seorang laki-laki dengan paras tinggi yang terbalut jubah hitam beserta tudung di kepalanya.

"Ssst! Cup, cup, cup. Jangan berteriak terlalu keras, nanti mulutmu tambah robek!"

"Lihat! Hihihihi. Lidahmu ternyata pendek juga, ya. Apa aku hanya memotong setengahnya? Ah, sepertinya iya. Tak apa, aku lebih suka melihat lidah yang tersisa di mulutmu saat ini." Ucapnya sembari terkikik geli.

Pria itu mendekat. Membuka paksa mulut wanita yang sedikit robek itu, lalu menyapit lidah wanita itu yang tinggal setengah dengan pinset yang berada di tangan kanannya. Ia pun mulai menarik dan menggerakkannya dengan asal. Setelah puas, ia menjauhkan dirinya dari wanita itu.

Pria itu segera membuang sarung tangannya dan mencari benda kecil yang ia temukan di online shop kemarin siang. Masih terbungkus kardus. Ia pun membuka kardus yang ternyata masih terbalut bubblewrap, dengan telaten membukanya.

"Taraaa! Ke-ju-taaaan! Jangan menangis dong! Kita 'kan baru mulai bermain." Wanita itu semakin terisak saat pria itu mendekatinya lagi, dengan sarung tangan baru.

Ia membuka kotak transparan kecil yang berisi aneka ragam warna. Ya, jarum pentul. Ia membelinya kemarin siang karena melihat video seorang beauty vlogger yang sedang membuat tutorial hijab.

Wanita itu semakin histeris kala sebuah jarum pentul menusuk tulang hidungnya tanpa aba-aba. Telinganya langsung terasa berdengung, dengan rasa seperti tersetrum menjalar ke kepalanya.

"Warna pink sudah, hijau, ungu, silver, merah, biru, kuning. Pfft! Kenapa ekspresimu seperti itu, hm?"

25 jarum pentul sudah tertanam dengan baik pada wajah wanita itu. Pria itu mengulas senyum puas. "Kutinggal dulu, ya! Jaga dirimu baik-baik!"


***

"Anak di rumah males-malesan! Mau nafkahin pake apa istrimu nanti?! Mentang-mentang libur 2 Minggu di rumah kerjaannya hape terus! Hape terus!"

Ya, itu tadi adalah bundanya Nani yang sedang mencuci piring. Sedangkan Nani merebahkan diri di sofa ruang tengah, asyik bermain dengan ponselnya. Ia tak menghiraukan lantunan ayat suci dari bundanya itu. Toh, sudah biasa.

"Ya, ya, ya. Ke Kampung Coklat aja. Udah bosen ke pantai-pantai mulu."

"Terserah! Gue kabarin yang lain dulu, bye!"

"Oke. Sip, sip."

Bruk!

"Nih, setrika seragam kamu! Senin lusa udah masuk sekolah. Inget, belajar yang rajin, biar bisa masuk Harvard!" Perintah bunda Nani disertai candaan di akhir kalimatnya. Mereka pun tertawa bersama.

We Were Born To Die [Dew×Nani]Where stories live. Discover now