Chapter 42 : Keinginan bercerai

669 20 0
                                    

Dress putihnya mendadak berubah warna. Percikan darah menyiprat bagian muka Elina dan gaun yang ia kenakan. Berteriak akibat terkejut luar biasa kaget, Elina kehabisan napas mendapati tubuh Felicia dan Michael sudah terkulai tak bernyawa bersimbah darah yang terus mengalir dari leher dan dahi yang sudah pada bolong akibat tembakan lepas tersebut. Tangan gemetar Elina mulai meraba darah yang merembes di karpet.

Konsep penyesalan memang terbentuk datang belakangan mulai menghiasi pikiran Elina. Merutuki atas diri sendiri akan tindakan gegabahnya. Menyesal karena sudah menganggap remeh ancaman penelpon misterius itu.

Kejadian penembakan yang barusan terjadi adalah awal menentukan semua. Tidak ada yang tahu setelah kejadian hari ini situasi mulai berubah total menjadi semakin meregang dan runyam.

Dari sekian tamu undangan terdapat satu orang tersenyum penuh kemenangan. Dari tempatnya, tamu itu meminum sampanye dan memakan kue pengantin sampai habis lalu berjalan keluar mengikuti arahan petugas keamanan yang baru saja tiba.

Ini adalah permulaan balas dendam atas perbuatan yang lalu. Kematian Felicia dan Michael sebuah peringatan.

Pernikahan yang beberapa jam baru dirasakan, keesokan harinya berubah menjadi momen pemakaman yang tak pernah terbayangkan oleh siapa pun.

Pernikahan berujung maut, begitulah pemikiran orang-orang yang datang ke pemakaman. Tragis bahwa momen bahagia berujung kesedihan mendalam.

"Sungguh kasihan sekali Felicia dan Michael. Tidak menyangka pernikahan mereka berujung pada kematian."

Samar-samar Elina mendengar ocehan duka cita oleh seseorang yang berada di belakang. Elina membisu. Ia masih berdoa dan berharap semoga ini hanya mimpi belaka!

Namun... saat peti mati sudah bergerak ke lubang makam, bagai diterpa angin topan menyadarkan Elina pada realita. Ternyata kematian mereka sungguh nyata. Michael dan Felicia sudah tiada dan itu semua salah dirinya.

Seharusnya Elina menyalahi si penelpon misterius, namun alam bawah sadarnya terus merutuki segala tindak kebodohannya.

Elina berdiri mematung di hadapan makam Felicia dan Michael, tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Tidak menangis, tidak bicara, dan tidak melakukan apapun.

Hanya berdiri dalam diam, diam dan diam. Apalagi yang bisa Elina lakukan. Menjerit dan menangis pun sudah lelah. Tangisan sebanyak apapun, bahkan jika ia mampu mengeluarkan tangis darah sekali pun tak bisa mengembalikan kedua manusia itu hidup kembali.

Hembusan angin pagi dan hujan rintik-rintik menghiasi suasana pemakaman. Elina menatap pedih gundukan tanah yang basah dan sudah terpasang batu nisan atas nama mereka.

Dua batu nisan putih bertanda salib yang kini hanya tinggal nama...

Felicia Robertos
Michael Robertos

Dalam kesucian cinta, kini mereka sudah bahagia di surga.

"Mi Chérie." panggil Sean kepada Elina.

Sean baru saja tiba saat para pelayat sedang meletakkan berbagai macam bunga sebagai bentuk ungkapan berbelasungkawa pada makam Felicia dan Michael yang berbaring bersebelahan. Sean merangkul pundak Elina dengan tangan kanan. Pria itu berusaha menguatkan sang istri dan turut prihatin. Sementara tangan lain memegang payung hitam untuk melindungi tubuh Elina dari tetesan air hujan.

"Orang yang menembak Felicia dan Michael sudah dibekuk oleh pihak kepolisian." kata Sean memberitahu.

Elina tetap bergeming tetapi mendengar perkataan Sean.

"Inspektur kepolisian mengatakan kau harus memberi kesaksian karena menjelang kematian Felicia dan Michael, kau adalah orang terakhir yang bersama mereka." lanjut Sean, lalu tangannya bergerak turun menggenggam telapak tangan Elina yang sangat dingin.

REVENGE DESIREWhere stories live. Discover now